“Pasya! Ternyata Bayu itu Pasya, Pasya yang takut sama boneka beruang."
....
Genggaman tangan Bayu semakin erat, ia tidak peduli bahwa Ilya sudah mengerang kesakitan. Pikirannya kacau, kata-kata Mifzal yang menjelek-jelekkan Ilya terus berputar-putar. Amarahnya memuncak ketika Ilya disebut sebagi seorang munafik.
“Akhhh, Bay, bisa tolong lepasin,” pinta Ilya seraya mengerang kesakitan.
Bayu diam, tak menghiraukan perkataan Ilya. Namun, genggamannya sedikit demi sedikit melonggar. Ia berhenti di depan sebuah mobil yang tak lain adalah mobil miliknya. Ia melepas genggaman itu dan menatap Ilya lekat.
Ilya yang merasa pergelangan tangannya sedikit nyeri, mengelus tangannya pelan. Pergelangannya tampak sedikit memerah, akibat genggaman kuat Bayu. Ilya merasa ada sesuatu yang janggal, seperti ada yang memperhatikannya. Ia mengangkat kepalanya ke atas.
Seseorang dengan tubuh jangkung, menatapnya dengan tatapan lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Jarak tatapannya hanya sekitar 20 cm. Ilya tak pernah melihat Bayu dengan tatapan seperti itu. Hatinya benar-benar hancur saat tau Bayu menatapnya dengan air mata yang menggenang.
Ilya menundukan kepalanya, tak kuat menatap Bayu yang sepertinya benar-benar marah padanya. Air matanya hampir saja runtuh, hingga sebuah tangan lembut memegang pipi halusnya. Air mata Ilya sudah tidak bisa dibendung lagi. Air mata itu membasahi tangan Bayu, Bayu mengusapnya dengan lembut seraya mengangkat kepala Ilya.
Bayu menatap Ilya lekat, tak ada kata yang terucap dari bibirnya, ia hanya memamerkan senyum yang ia paksakan. Keadaan di parkiran cukup sepi, karena pada jam-jam seperti ini para mahasiswa lebih memilih berada di dalam kampus dan lagi pula terik matahari sedang berada pada puncaknya.
Bayu melepaskan tangannya dari pipi Ilya, ia membukakan pintu mobilnya untuk gadis yang sedari tadi membuat hatinya terus berdebar kencang. Ilya pun memasuki mobil dengan senyum yang ia paksakan.
Sebelum Bayu benar-benar menutup mobil, seseorang menariknya dengan kasar. Mendorongnya tanpa belas kasihan. Bayu yang sudah jatuh tersungkur, dipaksa berdiri dan dipukuli hingga menjejakkan beberapa lebam di pipinya.
Ilya yang melihat kejadian tersebut refleks membuka pintu mobil itu lebar-lebar. Dan menarik tangan kekar yang sedari tadi memukuli Bayu. Entah, kekuatan apa yang ia dapat hingga bisa membuat laki-laki itu berbalik menghadapnya. Amarah, kekesalan, rasa putus asa terlihat jelas dari raut wajah laki-laki yang berada di hadapannya ini.
“Zal, maksud lo apa?” bentak Ilya.
“Yang harusnya nanya kayak gitu tuh gue, kenapa lo malah ngebelain dia? Apa sepenting itu dia di hidup lo? Sespesial itu dia di hati lo? Sampe lo ngebelain dia terus,” sergah Mifzal.
“Cukup Zal, cukup. Gue nggak mau denger lagi lo mau ngomong apa, mulai sekarang lo nggak usah ganggu hidup gue lagi. Asal lo tau Zal, Bayu ini calon suami gue,” ucap Ilya lantang.
Ilya tak ingin berdebat lagi dengan Mifzal, ia langsung mendekati Bayu yang menatapnya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Ia menarik tangan Bayu dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Ilya tak membiarkan Bayu untuk menyetir dalam keadaan seperti ini, ia menyuruh Bayu untuk duduk di kursi penumpang. Bayu hanya menuruti perintah Ilya, tanpa berkata apa-apa lagi.
Ilya mulai menyalakan mesin dan berlalu meninggalkan Mifzal, yang sedari tadi masih mencerna perkataan Ilya yang dianggapnya hanya omong kosong. Baginya Ilya yang seperti itu tidak pantas bersanding dengan orang-orang yang jelas berbeda prinsip.
****
“Lya,” panggil Bayu pelan.
“Lya,” panggilnya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersama Imamku
General FictionTamat (Part Masih Lengkap) Mungkin aku terlalu egois dalam memendam sebuah perasaan. Perasaan yang sebenarnya tak pantas aku miliki. Aku yang begitu suram bisa-bisanya menyukai cahaya terang. Kini apa yang bisa kulakukan, menggenggam angin dan memba...