“Qabiltu Nikahaha Tajwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu Bihi, Wallahu Waliyut Taufiq.”
....
Hari ini, hari di mana semua mimpi menjadi sebuah kenyataan. Dengan gaun putih panjang, Ilya berlenggak-lenggok bagaikan seorang puteri dari suatu kerajaan. Ditambah lagi, Bayu yang sudah mengenakan setelan jas.
Pernikahan dipercepat dari tanggal perencanaan. Oleh karena itu, pernikahan hanya dihadiri oleh keluarga terdekat saja. Untung saja gaun yang Ilya pakai adalah gaun milik Bundanya.
Bayu dan Ilya duduk di tengah-tengah para tamu, keringat dingin mulai bercucuran dari pelipis Bayu. Di saat seperti inilah hal-hal yang paling menegangkan di sepanjang hidupnya. Ketika dia sudah memutuskan masa depannya, di hadapan banyak orang.
Adam menarik napas panjang seraya menggenggam tangan Bayu kuat, “Ankahtuka wa Zawwajtuka Makhtubataka Binti Adam Nurwahid alal Mahri Qur’an Surah Ar-Rahman.”
Dengan satu tarikan napas Bayu berkata, “Qabiltu Nikahaha Tajwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu Bihi, Wallahu Waliyut Taufiq.”
Sejujurnya Ilya tak pernah mengajukan mahar apa pun pada Bayu, tetapi karena dalam setiap pernikahan harus disertai mahar. Ilya pun mengajukan mahar surah Ar-Rahman pada Bayu, dan Bayu menyanggupi permintaan Ilya dengan senang hati.
“Para saksi sah?” tanya Adam kepada para saksi.
“SAH.”
Senyum Ilya mengembang sepenuhnya, kini semua impiannya sudah benar-benar terwujud. Sang belahan hati sudah menjadi cinta terakhir untuk selamanya. Sebelumnya tak pernah Ilya bayangkan akan berakhir seperti ini, hanya sekedar menjadi temannya saja itu sudah membuat Ilya senang. Namun, sekarang bukan hanya sekedar teman biasa tetapi menjadi teman hidup.
“Lya, kok melamun. Ayuk udah ditunggu tuh sama yang lain, mau ada sesi pemotretan.” Bayu mengelus tangan Ilya lembut, mendadak lamunan Ilya buyar.
Ilya hanya mengangguk dan mengikuti arah langkah Bayu. Kepalanya sedikit pening akibat konde yang ia kenakan. Namun, semua itu terbalaskan oleh adanya Bayu di sisinya. Sesi pemotretan pun berjalan dengan baik, beberapa foto segera dicetak sebagai tanda bukti pernikahan Bayu dan Ilya.
Setelah selesai mengambil gambar, Ilya bergegas meninggalkan kerumunan menuju kamarnya. Kamar yang berhiaskan beberapa tangkai bunga mawar dan taburan kelopak bunga di ranjangnya yang berbentuk hati, menambah kesan romantis di dalam kamar.
Ilya duduk di depan cermin berukuran sedang dengan berbagai alat make up di meja riasnya. Ia melepaskan semua aksesories yang berada di atas kepalanya. Menggerai rambut panjangnya begitu saja. Rasanya kepalanya begitu penat untuk sekedar diajak bertata rias.
Tok-tok-tok
“Assalamualaikum,” ucap seseorang dari balik pintu.
“Wa’alaikumsalam, masuk,” jawab Ilya seraya merapikan aksesoriesnya di atas meja.
Seseorang dengan tubuh jangkung memasuki kamar dan menutup pintu kamar dengan hati-hati. Siapa lagi kalau bukan Bayu Azka Raffasya. Bayu menatap Ilya yang sedang duduk menghadap cermin, wajahnya tampak kelelahan.
“Lya, kok nggak ngajak-ngajak kalau mau ke kamar?” tanya Bayu.
“Ngapain ngajak-ngajak, emangnya Mas anak kecil harus diajak terus?”
“Mas?”
“Kenapa?” tanya Ilya seraya melepas aksesories di tangannya. “Mas nggak suka ya, kalau Lya panggil Mas?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Bersama Imamku
Ficção GeralTamat (Part Masih Lengkap) Mungkin aku terlalu egois dalam memendam sebuah perasaan. Perasaan yang sebenarnya tak pantas aku miliki. Aku yang begitu suram bisa-bisanya menyukai cahaya terang. Kini apa yang bisa kulakukan, menggenggam angin dan memba...