Bab 10: Misi

1K 48 0
                                    

“Maaf Bayu, Lya nggak bisa jaga diri Lya baik-baik."

....

“Nggak usah sok nggak tau lo, yang gue mau sekarang juga lo jadi pacar gue.”

Ilya mengerutkan keningnya, ia masih tak paham dengan sikap Mifzal yang mendadak seperti ini. Mana mungkin Ilya mau menjadi pacar Mifzal, sedangkan Ilya saja sudah berstatus menjadi istri orang sejak pagi tadi.

“Lo gila ya? gue ini udah jadi milik Bayu,” ucap Ilya tegas.

“Gue nggak peduli, mau lo milik siapa, yang jelas gue suka sama lo, Lya.”

“Zal, udah berapa kali gue ngomong jangan ganggu gue lagi.”

“Zal, mau apa lo, Zal,” teriak Ilya.

Mifzal tak merespon perkataan Ilya dan membekap mulut Ilya dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Ilya yang tak bisa menghindar hanya bisa pasrah, saat kain itu mendekati indra penciumannya. Gelap, semua gelap, Ilya sudah tak bisa lagi melihat cahaya.

****

Bayu terus berputar-putar mengelilingi kota, ia mencoba menghubungi teman-teman terdekat Ilya. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Tak ada tanda-tanda dari Ilya. Dan satu lagi yang membuat Bayu kewalahan mencari Ilya, istrinya itu tidak membawa ponselnya. Bayu tidak bisa menghubunginya.

Ia semakin kelelahan. Hari semakin larut, jam sudah menunjukan pukul 23.00. Tak ada cara lain, selain menghubungi polisi untuk membantu pencariannya. Untung saja Bayu mempunyai kenalan di bidang kepolisian.

“Hallo, dengan siapa di mana? Ada yang bisa kami bantu?” ucap seseorang dari ujung telepon.

“Dim, saya butuh bantuan ....”

****

Kepala Ilya terasa begitu pening, mungkin efek dari obat bius yang ia hirup. Mulutnya terasa kaku, tangan dan kakinya masih terikat. Namun, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia tidak lagi berada di sebuah kursi, melainkan berada di sebuah ranjang yang cukup besar.

Ilya mencoba untuk bangkit dengan mengguling-gulingkan badannya. Namun, bukannya bangkit ia malah terjatuh dari ranjang. Ilya sangat ketakutan. Tubuhnya menggigil kedinginan. Kamar ini cukup gelap untuk membuatnya tidak bisa melihat apa-apa.

Ilya meneteskan air matanya untuk kesekian kali. Rasanya badannya terlalu lemah. Ia benar-benar tak bertenaga untuk melakukan apa pun. Kini Ilya hanya bisa pasrah pada sebuah takdir, hanya Allah-lah yang dapat menyelamatkannya.

Seseorang dengan langkah besar menghampirinya. Ilya sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Laki-laki itu mendekatinya dan mengangkat tubuh mungil Ilya, untuk kembali ke tempat semula. Jantung Ilya berdetak kencang.

Laki-laki itu mulai menyentuh pipi halusnya, menggunakan punggung tangan. Ilya mencoba mengelaknya beberapa kali, dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ilya memejamkan matanya pasrah, tak ada lagi harapan, dia tidak akan bisa keluar dari tempat ini. Mifzal melepaskan ikatan dari tangan Ilya, tetapi dia tidak melepaskan genggamannya. Dia terus menggenggam tangan Ilya kuat. Ilya merasakan pergelangan tangannya sedikit nyeri.

Mifzal mendekatkan mulutnya tepat di telinga Ilya. Ilya hanya diam, napas hangatnya mulai merasuki telinganya. Laki-laki itu seperti membisikan sesuatu yang membuat nyali Ilya menjadi ciut. “Lya, lo udah nggak bisa lari kemana-mana, dan sekarang lo milik gue. ini akibatnya karena lo nggak mau nurutin apa kata gue.”

Ilya meneteskan air matanya lagi, ia benar-benar tak tahan dengan semua ini. Namun, apa yang bisa ia perbuat, tangannya terkunci oleh genggaman Mifzal. Kakinya terikat tali, mulutnya masih dibekap kain.

Brakk

Sebuah pintu didobrak membuat Mifzal dan Ilya tersentak. Beberapa polisi masuk dan langsung membungkam Mifzal. Dia diam tak berkutik, tak bisa berkata apa-apa lagi.

“Angkat tangan!” perintah polisi itu.

Mifzal melepaskan genggaman tangannya dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Polisi segera mengamankan Mifzal dan membawanya keluar kamar. Di belakang para polisi, Bayu dengan sigap menghampiri Ilya, melepaskan ikatan pada kaki dan mulutnya.

Ilya yang tak kuasa menahan ketakutannya langsung memeluk Bayu erat, tangisannya semakin menjadi-jadi. Ia sangat bersyukur karena Allah telah memberikannya pertolongan, dengan cara yang luar biasa dan tepat pada waktunya.

“Lya, udah ya jangan nangis lagi, kan ada Mas di sini,” ucap Bayu untuk menenangkan Ilya.

Ilya melepaskan pelukannya dan menatap Bayu lekat. Air matanya kembali mengalir melewati pipi halusnya. Matanya sembab, merah, hidungnya pun ikut memerah.

Bayu menghapus air mata Ilya menggunakan kedua ibu jarinya. Ia mencoba menenangkan Ilya sekali lagi dengan senyuman tulus. Ilya pun mengangkat kedua sudut bibirnya, menampilkan senyum tipis yang dipaksakan.

Bayu menopang tubuh Ilya untuk berjalan keluar. Ia menuntun Ilya sampai depan mobil dan mempersilahkan Ilya untuk menaiki mobil terlebih dahulu.

“Mas, bisa nggak kita jangan pulang dulu?” pinta Ilya dengan suara khas sehabis menangis.

“Kenapa?” tanya Bayu

“Lya, mau nenangin diri dulu,” ucapnya dengan suara lirih.

Bayu hanya mengangguk dan melajukan mobilnya menuju sebuah penginapan yang masih buka di tengah malam. Jam menunjukan tepat tengah malam. Jalanan begitu sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang di jalan.

Bayu menghentikan mobilnya tepat pada sebuah hotel yang terkenal di kota Cirebon. Ia memarkirkan kendaraannya di basemant. Mobil terparkir dengan sempurna, tetapi Bayu merasa ada yang janggal, karena Ilya sedari tadi tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

“Lya, sebaiknya kita telpon orang rumah. Biar mereka tenang, dan nggak nyariin kita,” ucap Bayu memecah keheningan.

Ilya hanya mengangguk. Bayu mengambil ponselnya dan menelpon orang rumah.

“Assalamualaikum,” salam Bayu.

Bayu memperbesar volume ponsel agar Ilya bisa mendengarnya.

“Wa’alaikumsalam, gimana Bay, udah ketemu?”

“Alhamdulillah udah Umi.”

“Kalian berdua nggak papa, ‘kan?”

“Kami berdua nggak papa, cuma tadi Bayu harus bawa-bawa polisi buat nyekap si penculiknya,” ucap Bayu bangga. Ilya tersenyum melihat Bayu yang menatapnya dengan tatapan senang.

“Lya, diculik. Kok bisa? Ya udah kalian hati-hati cepet pulang yang lain udah pada nunggu nih.”

“Maaf Umi, kayaknya kita nggak bisa pulang sekarang. Takut ada apa-apa di jalan, jadi kita nginep dulu di hotel semalam.”

“Oke, jaga diri baik-baik ya, Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Bayu menutup teleponnya, ia menatap Ilya lekat. Wajah Ilya benar-benar ketakutan. Bayu merasa dadanya sesak, hatinya hancur berkeping-keping. Saat melihat Ilya ketakutan seperti itu, ia merasa tidak bisa menjadi suami yang baik, yang bisa melindunginya. Ia memang tak pantas bersama Ilya.

“Lya,” panggil Bayu.

“Maaf Bayu, Lya nggak bisa jaga diri Lya baik-baik,” ucap Ilya lirih.

Ilya membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Bayu yang melihat Ilya meninggalkannya begitu saja, merasa bahwa dirinya benar-benar salah. Kepalanya sedikit pening, suhu badannya kembali tinggi. Namun, Bayu tetap memaksakan dirinya untuk kuat.

Laki-laki tak boleh lemah di hadapan seorang perempuan yang disukainya. Apalagi di depan istrinya sendiri, dia harus menjadi sosok yang kuat demi melindungi istrinya. Bayu tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya.

....

Sudahkah anda bershalawat hari ini?

Hijrah Bersama ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang