Awal

36 3 0
                                    


...ِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه...

“...jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya...”

«H.R.Muslim»

Wanita bekhimar warna biru muda itu memandang rumah sakit jiwa Hunuf yang terbangun tinggi di depannya seraya merapalkan syukur dalam hati atas apa yang dicapainya kini.

"Bismillaah," ujarnya pelan seraya mengambil langkah memasuki gedung yang dominan bewarna putih itu.

"Dokter Nafisa." merasa dipanggil, wanita yang ternyata bernama Nafisa itu menghentikan langkahnya setelah melewati ambang pintu dan langsung mengedarkan pandangan mencari asal suara.

Nafisa sedikit menarik kedua sudut bibirnya membalas senyuman lelaki yang baru saja memanggilnya.

"Assalamualaikum," salam lelaki itu setelah menghampirinya.

"Wa'alaikumsalam."

"Bagaimana kabar dokter? Sepertinya kita sudah hampir lama tidak bertemu, tadi saja saya ragu mau menyapa. Lebih tepatnya takut kalau dokter Nafisa sudah lupa sama saya." ujar lelaki itu penuh keramahan.

Masih dengan sedikit menunduk Nafisa kembali tersenyum tipis, senyum yang dapat membuat siapa saja merasakan kesejukan dalam hatinya jika melihat. "Alhamdulillah, saya sehat wal afiat dan saya tidak akan lupa sama orang sebaik dokter Fesal."

Nafisa rasa semua yang sudah digariskan oleh Allah kepadanya benar-benar terlalu sombong untuk tidak ia syukuri. Termasuk mengenal dokter Fesal yang sudah membangkitkannya dari kekelaman masa lalu.

"Sudah tahu ruangannya ada dimana?"

Nafisa tersadar dari renungannya mendengar dokter Fesal kembali bertanya. "Belum, ini masih mau mencari tau."

"Kalau begitu, yuk saya antarkan dokter Nafisa ke ruangan dokter."

"Tidak usah dok. Pasti banyak pasien dokter yang menunggu untuk ditangani," tolak Nafisa halus.

Dokter Fesal terlihat melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Masih ada dua puluh menit sebelum jam terbang saya. Jadi masih cukup untuk saya mengantarkan dokter ke ruangan."

Merasa tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak, akhirnya Nafisa mengangguk pasrah.

Setelah beberapa menit hening, di tengah perjalanan dokter Fesal membuka suara, "Sudah siap menjalankan tugas sosial?"

"Insyaallah siap," jawab Nafisa mantap.

Dokter Fesal mengukir senyum kagum mendapati semangat wanita yang berjalan menunduk tak jauh disampingnya ini. Ia tahu masa lalu Nafisa yang membuat gadis itu selalu diragukan bisa lulus atas pendidikan spesialis jiwa. Tapi nyatanya Nafisa bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Bahkan lebih cepat dari waktu yang semestinya. Hal itu yang membuat Nafisa mudah diterima di rumah sakit ini.

"Dokter beneran tidak ada pasien yang menunggu 'kan?" tanya Nafisa khawatir karena walaupun sudah berjalan cukup jauh, mereka belum sampai juga keruangannya.

"Tidak ada, dokter Nafisa tenang saja."

Nafisa mengangguk, "Hmm, kalau tidak keberatan dokter Fesal manggil saya pakai nama saja, tidak perlu ada embel-embel dokternya."

Dokter Fesal menaikkan sebelah alis tebalnya, "Kenapa? kan sekarang sudah menjadi dokter"

"I-iya, tapi saya merasa belum pantas," jawab Nafisa pelan.

Kekehan dokter Fesal seketika terdengar, "Tidak perlu merasa belum pantas. Biar terbiasa dipanggil dokter."

Lagi-lagi Nafisa mengangguk, karena akhirnya ia sependapat dengan ucapan dokter Fesal barusan.

Semoga bermanfaat
Happy reading ^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang