Aku duduk di antara mama dan papa. Di hempit, seakan mereka memaksaku untuk tetap duduk dan tidak kabur dari masalah yang aku hadapi. Di hadapanku sudah ada Bu Maya, si Wali Kelas Kesayangan.
Ah, aku mual. Ditambah lagi, Bu Maya tersenyum kepadaku. Aku mual. Benar, aku mual dalam arti yang sesungguhnya. Makanya, aku ada di ruang guru dan di hempit kedua orang tuaku karena aku menelpon mereka pada saat jam pelajaran pertama dimulai.
Aku mengaku kalau aku ingin muntah, badanku panas, dan kepalaku berat. Bukan sekedar mengaku, aku memang sakit.
"Makanya, harusnya kemarin kamu nggak usah pake acara mogok makan segala." Omel Mama.
Aku bukan mogok makan, hanya saja aku lupa rasanya lapar. Kalau mama mau tahu, itu jawabanku, Ma. Sayangnya aku malas bicara.
Papa menatap mama dengan tatapan yang tidak aku mengerti setelah ucapan itu keluar. Seharusnya papa sudah berangkat kerja satu jam yang lalu, dan mama sedang membaca majalah fashion kesukaannya di ruang tamu. Menikmati waktu sendirinya di saat aku sekolah, dan Papa bekerja.
"Yaudah kita pulang dulu, Bu. Terima kasih sudah mengizinkan Thalia pulang." Ujar Papa seraya bangkit dari duduknya.
Yaampun, akhirnya aku bisa bernapas.
Aku berdiri, mengeratkan jaket jeans milikku satu-satunya, yang aku pakai karena inilah satu-satunya jaket yang membuat tubuhku lebih kecil dari aslinya. Cuma ilusi, memang.
"Beneran panas ya, mama kira boongan. " Punggung tangannya berada di dahiku. Memeriksa.
Aku mengerling. "Buat apa bohong." Gumamku.
Sembari kami bertiga jalan di lorong kelas 12, banyak tatapan penasaran yang menyergapku. Pikirku, apa ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi itu wajar ya? Tapi kalau terlalu peduli itu juga merepotkan. Seperti aku. Aku orang yang terlalu peduli dengan aku sendiri. Di masa remajaku ini, rasanya belum puas kalau harus sabar dengan apa yang aku alami.
"Yah, kok lo pulang, Li?" Tanya Ades yang tiba-tiba ada di sebelah Mama. Mengikuti langkah kami menuju parkiran.
Aku hanya tersenyum.
Doakan supaya besok aku tidak perlu masuk sekolah lagi, Des. Pekikku dalam hati.
Sekolah bukan suatu hal yang aku benci, Ades bukan satu-satunya temanku, tapi dia adalah satu-satunya orang yang mungkin paling mengerti siapa aku sebenarnya. Sekolah menjadi alasan klasik kenapa aku sering stress. Sekolah menjadi alasan kenapa aku tidak suka saat orang-orang menatapku aneh.
Sekolah menjadi satu-satunya tempat di mana rasa percaya diriku jatuh dan berada di titik nol.
Kibasan rambut, bentuk tubuh para siswi yang wow, kisah perjuangan adik kelas yang ingin mendapatkan seorang kakak kelas ganteng, serta aku yang selalu sembunyi di balik tubuh tinggi milik Ades - juga rambut panjang Ades yang kadang aku gunakan untuk menutup wajahku sedikit.
"Permisi," ujar mamaku.
"Oh, iya."
Anak laki-laki yang tengah menyender di mobil sedan milik papa tersentak. Tubuh kurusnya tegap. Maksudku, tubuh proporsionalnya secara mendadak tegap dan bibirnya tersenyum pada kami bertiga. Koran yang ada di genggamannya dia lipat asal. Setelahnya dia pergi.
"Dah." Teriak Ades. Aku melambaikan tanganku padanya.
Ades adalah sosok gadis yang baik dan rela mendengarkan apapun yang aku ceritakan. Percaya atau tidak, Ades bisa membaca pikiran orang lain. Aku tidak percaya, jelas. Hal konyol macam apa itu?
HAHA.
Tapi sialnya aku di kagetkan oleh ucapannya waktu itu. Ucapan yang aku ucap dalam hati. Tidak seorang pun yang dengar atau pun mengetahuinya. Ades dengan entengnya bilang, "Tinggi gue 178,5."
Aku yang tengah duduk di sampingnya kala itu pun terperanjat. Gila, dia bisa membaca pikiranku! Aku tidak sedang menatap Ades dari atas sampai bawah layaknya orang yang ingin menanyakan tingginya, aku hanya duduk disampingnya dan menunduk menatap layar ponselku sambil berpikir sekaligus bertanya.
"Kira-kira berapa tingginya cewek bernama Ades itu?"
Keren. Aku harap, aku punya sesuatu dalam diriku yang bisa kubanggakan.
Mobil berjalan dengan kecepatan lumayan tinggi. Jalanan sepi.
"Kamu mau ke dokter dulu nggak? Apa minum obat aja?"
Minum obat saja, Ma.
"Oke, kita ke dokter." Aku berharap mama bisa baca pikiran seperti Ades. Tapi, sayangnya tidak.
"Nggak Ma, minum obat aja." Sela ku.
Aku melihat mama menggangguk. Sedangkan papa hanya bisa fokus menyetir sambil dahinya berkerut cemas karena mungkin papa telat masuk kerja karena aku. Ralat. Papa sudah telat. Aku yang mengacaunya.
"Cowok yang tadi itu guru baru ya?"
"Yang mana?"
"Yang tadi nyender di mobil kita."
Aku menerka. Bukan, jelas bukan guru baru. Dia memang selalu begitu. Cowok bertubuh proporsional tadi itu selalu menyender di mobil seseorang yang ada di parkiran sekolah. Aneh, dia bukan guru, mahasiswa yang magang, ataupun orang tua murid (jelas bukan karena wajahnya masih sangat muda)
"Bukan." Jawabku.
"Dia secret admire kamu kali, Tha." Aku tersedak ludahku sendiri.
Mana ada orang yang suka dengan cewek kumel dan menjijikan seperti aku, Ma? Mana ada?
Tidak ada.
Tidak akan ada yang mau dengan cewek yang suka bersembunyi di balik pahitnya kenyataan hidup. Cih, bahkan aku tidak tahu artinya hidup.
"Oh iya, Thalia! Kamu belum sarapan tadi! Harus makan ya, baru minum obat. Jangan coba-coba jadi anoreksia."
Wellcome to my life.
- - -
A/N
Ini di dedikasikan untuk orang-orang yang kurang percaya diri. Bahkan, nggak punya percaya diri ketika harus melihat cerminan dirinya sendiri di cermin.
Ini untuk kalian yang merasa kalian nggak bisa apa-apa dan nggak punya apa-apa. Kalian punya orang tua yang harus kalian buat bangga, kalian punya 'kalian' yang siap untuk jadi kebanggaan orang lain.
Ini juga untuk kalian yang berpikir 'i'm ugly." , "I'm fat and short.", "I'm tall like a giant.", "Jerawatan! Jelek banget!" . Mau bagaimana pun juga, You guys are BEAUTIFUL/HANDSOME Please, be grateful.
-s e k a r
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Care Too Much
Teen FictionIngat-ingat ya. Jadi manusia itu jangan terlalu peduli kepada sesama. Tahu alasannya apa? Peduli itu = MENYUSAHKAN.