Happy Reading
***
"Light, ayo turun!" Panggil ibu dari lantai bawah.
"Ya, Bu." Jawabku dari kamar.
Malam ini, seperti biasa kami berkumpul bersama untuk makan malam. Di sela- sela makan, ayahku bertanya.
"Apa yang kau pikirkan, nak?" Tanya ayah yang tak biasa melihatku diam.
"Memikirkan apa yang ayah katakan kemarin malam." Ujarku.
"Tentang tempat kuliah itu?" Tanya ibu.
"Ya, Bu."
"Kau menyetujuinya?"
"Mungkin benar kata ayah, anak laki- laki harus pergi berkelana jauh." Ucapku pelan.
"Apa kau benar- benar sudah memikirkannya, Sayang?"
"Ya, Bu. Hanya saja_" Aku memperhatikan raut wajah mereka yang masih menatapku dengan penuh kasih sayang.
"Kenapa, Sayang?"
"Apa aku harus meninggalkan kalian berdua?" Aku tak berani menatap wajah lembut kedua orangtuaku. Aku tak biasa meninggalkan mereka berdua begitu saja. Aku telah terbiasa dimanjakan, mereka sangat sayang padaku. Mungkin karena aku anak mereka satu- satunya. Lalu, sekarang aku harus meninggalkan mereka?
"Oh lihat, sayang! Anak kita drmatis sekali." Ujar ibu disambut tawa ayah.
Aku merengut cemberut dan memainkan sendok makanku. Sudah sedari tadi makananku habis tak bersisa. Dan aku menunggu momen yang pas untuk menyatakan ini. Lihatlah! Bahkan kedua orangtuaku tidak ada yang terlihat sedih saat anak mereka akan meninggalkan mereka berdua saja di rumah besar ini.
"Light, Amerika tidak terlalu jauh. Kau bisa menelfon kami jika kau merindukan kami."
"Tapi, rumah ini pasti akan sepi tanpaku." Ujarku lagi.
"Sayang, lihat dirimu! Kamu sudah besar tapi masih seperti anak kecil." Ujar ibu tersenyum.
"Bagaimanapun juga, kami akan merindukanmu. Kau selalu ada dihati kami, Nak." Lanjut ibu. Lihatlah! Bahkan untuk sekedar pergi kuliah saja aku sudah merasa seperti ini. Apa aku terlalu lama mengurung diri di rumah?
"Kalian janji akan mengunjungiku disana?"
"Ya, Sayang."
Malam itu, aku bisa mengembangkan senyumku untuk mereka. Memang, benar kata ayah. Mungkin saja aku juga bisa mendapatkan sesuatu yang menarik disana.
Hari keberangkatan, di bandara.
"Yakin tidak ada lagi yang tertinggal di rumah, Sayang?" Tanya ibu. Aku mengangguk mengiyakan.
"Hati- hati disana, Nak." Ujar ibu seraya memelukku lama. Usai memeluk ibu, aku menghadap pada ayah.
"Tidak ingin memeluk ayah, Light?" Tanya ayah seraya membentangkan tangannya padaku.
Aku lansung memeluk ayah erat.
"Ingat, Light! Sesampai disana jangan lupa untuk menelfon kami. Teman yang ayah bicarakan sudah menunggu di bandara. Dia sahabat lama ayah. Katakan saja apa yang kau butuhkan disana. Mengerti?"
"Ya, Ayah." Ayah menepuk- nepuk pundakku.
Setelah itu, tidak ada lagi sesuatu yang spesial disana. Aku menemui teman lama ayah yang bernama Robert di Amerika.
"Panggil saja aku Paman Robert, Light! Ayahmu sudah seperti saudaraku sendiri." Ujar Paman Robert padaku.
Paman Robert tinggal sendiri di rumahnya, ia tidak tinggal bersama keluarganya karena ia mempunyai pekerjaan disini. Sekali sebulan, ia akan mengunjungi keluarganya di kampung halamannya. Aku berpikir bahwa itu pasti pekerjaan yang penting sekali sampai Paman Robert rela tinggal berpisah dengan keluarganya dan hanya bertemu sekali sebulan saja.
Hari- hari pertama kuliahku berjalan lancar. Aku juga mendapatkan teman sesama orang Indonesia disini, namanya Kevin. Awal aku berkenalan dengannya, aku mendapat kesan yang baik darinya.
Ia mengatakan, "aku senang menemukan teman satu negeri denganku, Light. Tapi namamu bukan mencerminkan orang Indonesia. Apa kamu blasteran?" Tanyanya membuatku tertawa.
"Ah tidak, Kevin."
"Yah, setiap orangtua pasti memberikan nama yang baik untuk anaknya." Sambung Kevin seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Aku tersenyum lebar mengingat kenangan nama itu.
Setiap waktu luang, Paman Robert selalu bercerita tentang kota tempat kami tinggal ini atau kadang ia mengajakku jalan- jalan mengenal tempat- tempat daerah sekitar sini. Atau kadang aku menerima ajakan Kevin yang dengan senang hati menunjukkan tempat yang disukainya di sekitar kampus, karna aku masih tergolong orang baru saat itu.
Paman Robert orang yang baik. Jika aku mempunyai keperluan kuliah sampai pulang menjelang malam, makanan sudah tersedia di meja makan.
"Hidup itu tidak bisa bergantung kapan saja dengan orang lain, Light. Karena aku sudah terbiasa hidup sendiri di sini, aku harus bisa mengurus semuanya termasuk membuat makanan sendiri. Mungkin kau juga bisa belajar memasak dariku." Kamipun tertawa bersama.
Tinggal bersama Paman Robert membuatku nyaman, ia sudah seperti pengganti ayahku. Kadang, ia juga bercerita mengenai pengalaman ia bersama ayah waktu muda dulu. Ternyata mereka satu teman kuliah dan mereka juga kuliah di tempatku sekarang. Mungkin karena itu juga ayah menyarankan aku untuk kuliah di sini.
Aku pernah mengirimkan sebuah surat kepada ayah dan ibu di rumah, dan surat itu berisi foto- fotoku selama berada di sini. Dan surat itu sampai seminggu kemudian.
Ayah menelfonku. "Light, kau mengirim surat kepada kami?"
"Iya, Ayah." Jawabku.
"Kenapa surat, Light? Kau bisa mengirimkannya lewat handphonemu kan? Apa handphonemu rusak?"
"Tidak ayah, aku hanya ingin tau berapa lama surat ini akan sampai kepada kalian disana." Lalu kami tertawa bersama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali Kepadamu
AksiPada awalnya, kehidupanku berjalan dengan menyenangkan. Namun, pada malam itu ketika aku harus kehilangan ibu, membuat hatiku hampa lalu meninggalkan ayah dan memilih untuk menjalani kehidupan kelam yang tidak pernah sekalipun diajarkan orangtuaku s...