Dua Belas

2.3K 150 10
                                    

Kantia's POV

Saat ini senja terasa lebih berharga, langit kuning kemerahan, dengan cahaya yang perlahan meredup, diikuti dengan penampakan rembulan yang mulai samar menggantikan sang Surya. Angin berhembus meniup aroma tubuhnya, menyeruak dalam penciumanku dan seketika membuat paru-paruku tersenyum di dalam sana. Konyol memang. Namun begitulah jika orang sedang dikocok rasa bahagia, semua keadaan seakan bagai kalimat puisi yang begitu romantis, atau bahkan terdengar gila.

Senja tanpa suara, tetapi setidaknya aku bisa menikmati penampakan walau hanya punggungnya. Bisa tenggelam walau hanya dalam bahunya. Rasa ini menggebu, terasa kacau, namun begitu sempurna. Ulat bulu yang awalnya hidup dan menggerogoti hatiku, sekarang sudah berubah menjadi kupu-kupu yang indah penghias rasaku.

"Bener mau terus duduk di belakang? Kita udah sampai loh" katanya membuyar lamunanku.

"Wah, sejak kapan?"

"Dari dua menit yang lalu kita udah sampai"

Aku segera turun dari motornya.

"Nanti malam telepon aku" ucapnya sambil membentuk tangannya seperti telepon di telinga.

Aku mengangguk "iya nanti aku telepon"

"aku pulang dulu" katanya.

Aku tersenyum "hati-hati"

Sambil mebelokkan motornya "iya, kamu juga!" lalu sekilas tersenyum kepadaku.

"Kamu juga apa?" dahiku mengerut.

"Hati-hati ada Zombie di kolong ranjang!"

Ia pun pergi sambil tertawa terbahak-bahak. Sempat beberapa kali aku menggerutu, namun entahlah, aku selalu tersenyum di akhir kalimatku. Memang sangat sulit sekali untuk marah kepada anak sialan itu, dia selalu merengek menggodaku, dan membuatku selalu gagal untuk marah kepadanya.

Beberapa saat aku masih berdiri menunggunya sampai menghilang dari pandanganku. Setelah itu segera aku masuk menuju dalam rumahku. Ruangannya sangat gelap gulita. Sudah dapat dipastikan kakakku belum pulang, mungkin masih berkeliaran di luar. Tanpa berpikir panjang, segera kunyalakan lampu, lalu masuk menuju kamarku dan merebah diatas kasur.

Kusentuh bibirku, rasanya masih belum percaya bahwa aku telah memberikan ciuman pertamaku kepada Gusna. Parahnya ciuman ini aku berikan kepada seorang wanita, dan sialnya jelas-jelas aku sunggu menikmati.

Kupejamkan mataku tanpa beranjak menyentuh bibirku. Walau hanya bayangannya, ciuman tadi masih membuat dadaku menggebu. Ah rasanya aku memang sudah gila, sebaiknya aku mandi kemudian langsung menelponnya.

Gusna's POV

Malam ini aku tengah merebah di permukaan kursi panjang, sambil bermain gitar, menatap angkasa, dan dipeluk kehangatan dari api unggun yang membara dari dalam tong besi. Loteng adalah tepat terbaik, selalu terbaik dan sangat aku favoritkan.

Air sisa hujan tadi siang masih terlihat menggenang di beberapa bagian ubin loteng dan menyegarkan beberapa tanaman penghias. Sambil menyanyikan beberapa lagu, mataku terpejam dan kejadian sore tadi terlintas begitu saja dalam benakku. Menyeruak dan menggebukan lagi rasa dalam dada.

Bibirku tersungging "Sempurna!" ucapku berbicara sendiri.

Suasana ini begitu memabukkanku. Taburan bintang memang selalu indah, tetapi karena rasa luar biasa ini, bintang terlihat berjuta kali lebih indah dari sebelumnya.

Seringkali bi Nani berteriak-teriak mengingatkanku, katanya jangan banyak melamun jika sedang di loteng. Aku bilang bahwa aku tidak melamun, melainkan sedang berimajinasi. Menurutku lamunan dan imajinasi itu dua hal yang berbeda. Lamunan adalah hal yang berkaitan dengan bayangan kesedihan yang kosong. Sedangkan berimajinasi adalah kegiatan yang penuh dengan pikiran yang membahagiakan.

The Time [GirlxGirl] (Editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang