Hujan yang turun dari kemarin siang belum juga reda sampai pagi ini. TV yang mengabarkan sebuah bencana banjir pun sudah berlomba-lomba menayangkan peristiwa itu meski matahari sama sekali belum muncul.
Di daerah tempat Sefita tinggal tidak ada banjir, semuanya terlihat aman tanpa ada kerusakan sama sekali. Gadis itu kini mulai menelepon Listi. Ia ingin tahu keadaannya, mengingat ibu dari gadis itu sampai sekarang masih terbaring di rumah sakit.
Namun hingga panggilan ketiga, telepon sama sekali belum diangkat oleh gadis itu. Jangankan diangkat, ditolak saja tidak. Padahal teleponnya tersambung tanpa ada kendala jaringan sedikit pun.
Alan—kakak dari Sefita—mulai duduk di samping adiknya. Mengganti saluran televisi yang semula menayangkan berita banjir menjadi dua botak berwajah sama. Sefita melirik sekilas kakak laki-lakinya itu, tampak tidak peduli.
Ia mencoba menghubungi Listi untuk yang terakhir kali. Jika sampai panggilan terakhir nanti tetap tidak ada jawaban, maka dirinya akan nekad ke rumah gadis itu meski hujan di luar sana masih terus berderai.
Sudah cukup!
Sefita tidak bisa menahan kegelisahannya lagi. Ke mana Listi? Sedang apa gadis itu? Tidak biasanya dia mengabaikan telepon, bahkan jika ingin buang hajat di kamar mandi saja ponselnya selalu dibawa.
"Bang, gue mau ke rumah Listi."
Alan menoleh, memberi Sefita tatapan bingung. "Lo gila? Di luar lagi hujan deres gitu mau main? Yang bener aja dong!"
Sefita menghela nafas. Sudah ia duga. Meminta izin kepada kakaknya itu memang sangat susah, apalagi dengan keadaan hujan deras seperti ini. Tapi Sefita tidak akan menyerah hanya sampai di situ saja. Dia terus membujuk Alan supaya diizinkan untuk keluar.
Awalnya gadis itu membuatkan teh hangat dan juga membawakan beberapa camilan ke meja yang ada di hadapan Alan, tapi gagal. Kemudian ia mencoba memberi voucher kuota kepada laki-laki itu yang baru saja dibelinya kemarin dan tentu saja sama sekali belum ia pakai. Tapi tetap saja gagal.
"Bang ... Tante Lusy tuh kemarin kecelakaan! Gue mau lihat keadaan Listi di rumah. Lo nggak kasihan?"
Alan menoleh terkejut. Ia baru tahu. Salah Sefita juga yang tidak memberi tahunya sejak awal, jika begitu adanya pasti dia tidak akan mencegah adiknya itu untuk pergi menjenguk Listi. "Ayo! Abang anterin pakai mobil."
Dari tadi kenapa, sih!
Sefita menggerutu kesal namun tetap berjalan mengekori sang kakak yang sudah terlihat jauh di depannya. Tampaknya dia juga khawatir.
•••
Rumah dengan cat biru muda itu tampak sepi. Gerbang rumah pun dibiarkan terbuka tanpa takut jika rumah mereka dibobol maling. Memang keluarga Listi tidak memperkerjakan satpam dan juga pembantu, alhasil setiap anggota keluarga harus memiliki kunci semua ruangan di rumah itu agar dapat keluar masuk tanpa memerlukan bantuan. Termasuk kunci gembok gerbang bercat hitam itu.
Tapi kenapa sekarang gerbangnya dibiarkan terbuka? Tidak mungkin mereka semua pergi tanpa menutup gerbang terlebih dahulu, 'kan?
Sefita turun dari mobil setelah sebelumnya sempat membuka payung merahnya. Ia berjalan masuk dan kembali menutup payung merah itu lalu menyenderkan—nya di tiang rumah, tepatnya di teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
RandomSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...