9 × 2

124 18 11
                                    

Hal yang pertama kali kurasakan saat aku terbangun dari tidurku adalah sakit yang menyerang kepalaku. Sepertinya ini adalah efek dari peristiwa semalam. Aku memang lemah, fisikku tidak kuat menahan tembakan-tembakan air hujan, maka dari itu aku tidak pernah bermain di bawah hujan, apalagi dengan lelaki yang kusayangi.

Aku menoleh ke sekeliling, ada yang berbeda. Suasana saat ini tidak menunjukkan suasana pagi hari di hari sekolah. Aku melirik ke arah jam dinding yang melekat di dinding kamarku. Sudah jam sembilan lewat tiga puluh menit. Aku tidak mungkin lagi pergi ke sekolah dan sepertinya suhu tubuhku saat ini cukup meyakinkan kedua orangtuaku untuk meliburkanku.

Ketika aku hendak beranjak dari tempat tidurku, seseorang membuka pintu kamarku. Akupun langsung menoleh ke arah pintu kamarku. Seseorang yang sudah lama tak kujumpa sedang berjalan menghampiriku.

"Cal, kok lo ada di sini?" tanyaku.

"Mama kamu minta tolong sama Abang buat jagain kamu," jawab Calum.

Aku terperangah mendengar jawaban Calum. Calum menggunakan kata-kata yang sangat lembut, kata-kata yang digunakan seseorang kakak kepada adiknya. Dan dapat kusimpulkan, Calum benar-benar sudah menganggapku sebagai adiknya, itu artinya aku tidak memiliki kesempatan untuk menjadi seseorang yang istimewa di hati Calum.

"Kok bisa?" tanyaku.

"Awalnya Abang ke sini mau ngambil kadonya Mawar, nah waktu Abang sampai sini, kebetulan Mama kamu lagi mau ke rumah sakit, jadi, Mama nitipin kamu ke Abang," jawab Calum. "Oh, ya, kadonya mana, Bel?"

Sebelum menjawab pertanyaan Calum, aku beranjak dari tempat tidurku dan menghampiri tasku untuk mengambil kado milik Mawar. Kemarin aku belum sempat membungkus kado itu karena sepulangnya Joshua dari rumahku, kepalaku berdenyut sehingga aku memutuskan untuk beristirahat. Setelah aku mendapatkan kado milik Mawar, akupun langsung memberikannya kepada Calum. "Nih, Bang, tapi maaf, gue belum sempat bungkus."

"Oh, gak apa-apa, Bel, harganya berapa?" tanya Calum sembari menerima kado milik Mawar itu.

"Gue lupa, Bang, soalnya Joshua yang ngurus semuanya," jawabku berbohong. Aku sebenarnya tahu detail harga barang yang sekarang sudah berada di tangan Calum, namun karena aku sedang malas membicarakan kado itu, aku memutuskan untuk berbohong.

"Oh ya, Bel, kamu belum sarapan, kan?" tanya Calum.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Ya udah, yuk, ke bawah, Abang bawa bubur ayam buat kamu," ajak Calum sembari menarik tanganku dengan lembut agar aku mengikuti langkahnya.

Sesampainya aku dan Calum di ruang makan, Calum langsung menarik satu kursi untuk kududuki. Aku yang terheran dengan sikap manisnya itu hanya bisa terdiam. Aku sangat yakin sesuatu telah terjadi. Tak mungkin tiba-tiba Calum menjadi seseorang yang sangat manis seperti saat ini.

"Nih, Bel, kamu makan, ya," kata Calum sembari meletakkan sebuah mangkuk berisi bubur ayam di hadapanku.

"Makasih, Bang," ucapku seraya sedikit menggeser mangkuk itu agar posisi ia berada di posisi yang pas.

Saat Calum sudah duduk di kursi yang berada di hadapanku, aku teringat akan satu hal. Hal yang sangat ingin kutanyakan kepada Calum sejak jauh-jauh hari, tetapi terhambat karena waktu yang tidak tepat. Dan kurasa, sekarang adalah waktu yang tepat itu.

Sebelum memulainya, aku memutuskan untuk berdeham guna menarik perhatian Calum yang hendak memakan bubur ayamnya. Mendengar dehamanku, Calum langsung menoleh ke arahku.

"Kamu kenapa, Bel?" tanya Calum.

"Mawar marah sama lo, ya, Bang?" tanyaku.

"Marah karena foto gue meluk lo itu?" Calum balik bertanya.

Catch Fire × Calum Hood || ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang