Serangan Mantan

2.9K 204 14
                                    

Aku berjalan pasti menuju lobby di lantai satu. Melewati koridor temaram. Halimun tampak memutih, terlihat samar menyelimuti malam. Buat apa Zeta malam-malam begini nekat datang ke sini. Ah, aku sungguh penasaran.

Berlari menuruni tangga terakhir, akhirnya aku tiba di lobby. Pandangan menyisir tempat itu, tak butuh waktu lama untuk menemukan sosok Zeta. Dia sedang duduk di atas sofa hitam. Jemarinya sibuk memainkan ponsel.

"Zeta!" Aku mendekat, memanggilnya penuh kekhawatiran.

Wanita itu berdiri, mengibaskan rambut cokelatnya. Aroma lavender menguar, menghantam indra penciumanku. Aroma yang dulu sangat aku sukai.

"Aru." Zeta ingin meraih tanganku, secara reflek aku mundur satu langkah.

Tidak. Sekarang aku telah beristri. "Di mana suamimu?"

Zeta melengos. Ia kembali mengempaskan pantatnya ke sofa. Aku mengambil tempat di sampingnya, memberi jarak.

"Mas Indra di rumah."

"Kamu kenapa sendirian di sini? Malam-malam lagi."

"Sebenarnya aku bertengkar lagi dengan Mas Indra. Aku sengaja ke sini, menemuimu."

Aku menepuk kepala. "Zeta, dari mana kamu tahu aku ada di sini?"

Zeta menunjukkan akun media sosial Ganis. Oho, rupanya kamu  mengunggah semua aktifitas kita. Pantas saja Zeta bisa menemukan tempat ini.

"Sebenarnya aku sudah sampai di sini sejak sore, tapi selalu gagal menghubungimu, Aru."

Aku mengambi napas, "Zeta, segala permasalahan harus dibicarakam baik-baik. Kalau kamu bertengkar dengan suamimu, lalu mencariku, nggak akan menyelesaikan apa-apa. Sekarang aku sudah menikah, nggak bisa lagi sebebas dulu. Ada hati yang harus kujaga."

"Aku menyesal menikah dengan Mas Indra. Dia nggak sesuai bayanganku, Ru." Suara Zeta bergetar. "Akhir-akhir ini, dia sering melakukan kekerasan. Katanya aku perempuan nggak berguna, nggak bisa punya anak. Padahal Mas Indra menikahiku karena ingin mempunyai keturunan."

Ganis, Zeta menangis. Aku ingin menepuk bahunya seperti dulu, tapi bayanganmu membuatku bertahan.

"Kamu sudah dewasa, Zeta. Lakukan apa yang harus dilakukan."

"Aru, meskipun kamu sudah menikah, tolong tetaplah jadi tempatku mencurahkan masalah. Nggak ada orang yang bisa kupercaya selain kamu, Ru."

"Lantas kenapa dulu kamu menikahi Indra!" Aku ingin meneriakkan kata-kata itu tapi hanya sampai di ujung bibir. Menyesali masa lalu nggak ada gunanya, bukan begitu, Ganis?

Zeta memeluk lengannya, "Sejak awal, harusnya aku melarangmu menikah dengan Ganis. Melihatmu menjadi milik orang lain membuat hatiku sakit. Aru, apakah aku masih punya kesempatan?"

Angin dingin menembus daging hingga tulang. Kata-kata Zeta seperti pisau yang ditusukkan tepat ke rongga dada sebelah kiri. Sakit!

"Aku juga berhak bahagia, Zeta. Bersama Ganis akan kugapai bahagia itu."

"Aru, kalau aku bercerai dengan Mas Indra, aku harus bagaimana?" Zeta sesenggukan, air matanya meleleh membasahi pipi.

"Aku yakin kau pasti bisa menemukan lelaki yang baik, Zeta."

"Aku nggak yakin, Ru. Siapa yang mau menerima wanita sepertiku? Beberapa kali hamil, selalu keguguran."

Ganis, aku nggak bisa ngomong apa-apa. Ingin menolongnya keluar dari permasalahan ini, tapi bagaimana caranya?

"Aru, kalau aku bercerai dengan Mas Indra, maukah kamu menerimaku lagi?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Zeta.

Aku bingung harus berbuat apa. Bohong bila aku keberatan. Bukankah wajar setiap lelaki mau punya istri lebih dari satu, Ganis?

"Maaf, Zeta. Tentang itu aku nggak bisa memutuskan. Aku belum membuktikan apa-apa pada Ganis. Aku nggak akan menghancurkan hatinya dengan menerimamu kembali."

"Aku rela jadi istri kedua, Ru." Zeta menyela. Wajahnya menunduk dalam.

Kami sama-sama terdiam, merasakan kecamuk pikiran masing-masing. Mempunyai dua istri sama sekali nggak pernah kebayang.

"Sabaiknya kamu kembali ke kamar, Zeta. Istirahatlah. Besok pagi segeralah pulang. Selesaikan masalahmu."

Wanita berjaket krem itu beranjak, melangkah gontai menuju kamarnya.

"Kamu diantar Pak Rohmat, kan?" Ganis, Pak Rohmat adalah sopir pribadi Zeta.

"Iya," desis Zeta. Sosoknya segera hilang di balik tembok

Sementara aku masih duduk termenung. Pikiranku ruwet. Sebatang rokok mungkin bisa membantu mengenyahkan masalah ini, paling tidak membuat otak jadi tenang. Persetan dengan bahaya yang tertera dalam bungkisnya. Kalau waktunya meninggal, nggak merokok pun pasti akan mati. Bukan begitu, Nis?

Ganis, siapa yang menyangka pada hari-hari pertama pernikahan akan dihadapkan dengan persoalan rumit. Masalah hati konon lebih pelik dari pada masalah ekonomi. Hati menjadi mesin penghancur bahtera nomor satu. Haruskah aku ceritakan padamu, ataukah .... Ah, pusing!

Batang rokok tinggal separuh, bara diujungnya aku penyet dalam asbak. Kakiku melangkah menuju kamar. Kamu masih terlelap, damai sekali. Bibirmu menyunggingkan senyum. Mimpi apa, Ganisku sayang? Aku menyusupkan diri dalam hangatnya pelukanmu.

Ah, ternyata rasanya sedamai ini. Kehangatanmu menenangkanku. Bayangan Zeta perlahan pudar. Di benakku hanya ada kamu, Nis.

***

"Mas Aru, ayo bangun. Sudah waktunya sholat Subuh." Ganis menepuk-nepuk pipi. Aku membuka mata, awalnya tampak kabur lalu terlihat jelas kamu tersenyum indah. Rambutmu basah.

Kamu berbisik manja, "setelah sholat ada serangan fajar. Hihi."

Tanpa sadar, aku merengkuh tubuhmu. "Nakal, ya."

"Hih, bau naga!" Kamu menutup hidung. "Cepat sana mandi, gosok gigi."

"Males."

"Koyik!" Jemari lentiknmu menoyor kepalaku lembut.

Kamu melepaskan diri dari pelukan. mendorong tubuhku dari ranjang secara brutal.

Bugh! Aku terjatuh dengan sukses. Selimut menutupi badan. Kamu tertawa iblis, Nis.

"Au! Pasti sakit," ejekmu.

Bersungut aku menuju ke kamar mandi, membersihkan diri di bawah guyuran air hangat. Kita menunaikan ibadah lalu meloncat ke ranjang untuk melaksanakan pergulatan babak kedua.

Yiha! Serangan matahari terbit!

Next

Silakan vomen, Gaes.

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang