Senja melukiskan jingga dengan acak, bermain ria dengan awan hitam yang jauh disana. Apa maksudmu langit? Seakan meledekku dengan segala kegundahan hati. Lagi dan lagi alam mendukungku untuk mengingat masa itu. Sekarang aku tersadar, bahwa sahabat paling setia adalah alam, bukankah ia menemani dan menenangkan jiwa?
Aku duduk di sebuah cafe biasa kau mengajakku, entah mengapa aku sedang ingin duduk di tempat dirimu duduk waktu itu, barang kali kursi ini memiliki sebuah penyihir agar semua orang tertarik, seperti aku kepadanya.
Namun rasanya percuma, aku bukan ingin semua orang tertarik kepadaku, aku hanya ingin orang yang aku suka balik menyukaiku, adilkan?
Aku percaya cinta itu adil, jika tidak menyayangiku, mungkin menyayangi orang yang aku sayang sudah lebih dari cukup. Ya, cukup sakit.
"Mau gak nikah sama abang?" tanya Azhi.
Siapa kau? Semudah itukah mengucap sebuah permintaan?
Hatiku bahagia lebih dari biasanya, hariku seakan berwarna. Senyumku melukiskan sebuah harapan yang selama ini terbayang indah di langit yang kelam. Mulutku terbungkam, seolah sulit mengucap tidak.
Semenjak hari itu, aku merasa wanita paling bahagia, sabarku terjawab sudah, harapanku di depan mata. Semoga kau bisa menerimaku, Sayang.
"Hai!" sapa Andien.
"Hai, kalian!" jawabku gugup.
Aku segera meminum kopi yang sudah lama ada di hadapan, tanganku gemetar saat ku raih gagang cangkir itu. Terlihat jelas tetesan kopi pahit berserakan dimana-mana, gerakku semakin tak menentu, gugup serta bingung harus bagaimana. Apalagi ketika kau dan dia terus menatapku aneh, sungguh benci!
"Tumben banget kesini sendiri?" tanya Azhi.
"Ya, aku lagi nunggu seseorang, tapi kayanya dia gak jadi datang," jawabku lebih gugup. "Kayanya aku harus cabut duluan ya!"
Asal kau tahu, aku menunggumu seperti dulu kau menungguku, aku tertarik padamu, seperti dulu kau tertarik padaku. Semua rasa yang kau berikan telah ku miliki sepenuh hati. Sekarang, setelah kau memutuskan untuk pergi. Aku menatap dirinya sambil merasakan sebuah getaran kencang dalam dada. Hancur!
"Kok buru-buru, Cha?" tanya Andien.
"Hehe ... ditungguin nih, duluan ya!"
Senyum dirimu cukup membuat hati sejuk sekaligus panas. Kau sumber air mata dan kau juga obatnya. Otakku seakan selalu menyimpan seluruh kata-perkata, aku sangat ingat dihari kau pertama kali mengucapkan sayang, atau itu hanya sebuah lamunan?
Aku tak mengerti, saat aku memberikanmu teman baru, kau malah menjadikanku teman. Bukan itu maksudku, Sayang.
Aku segera melangkahkan kaki dengan terburu-buru, meninggalkan dia yang memakai kemeja biru langit senada dengan sang kekasih. Aku
membiarkan luka terus terasa di dalam hati. Apakah kau bisa membayangkan saat berada di posisiku? Sakit!Sebenarnya bukan tentang jatuh cinta yang membuat hati ini sakit, tapi tentang perasaan yang terlalu lama terpendam, kau jadikan aku sebagai sandaran tapi kau tidak membiarkan aku bersandar kepadamu. Aku jadikan kau seseorang yang selalu aku tunggu, tapi kau tak pernah mengharapkan kehadiranku. Aku jadikan kau sosok yang selalu diingat, tapi kau telah melupakanku.
Seburuk itukah aku dimatamu?
Kemarin aku yang paling kau inginkan, sekarang aku menjadi wanita yang tak diinginkan sedikitpun di hatimu. Dalam sekejam kau melupakanku, menggantikanku, membuangku.
Air mataku mulai menetes, lagi!
Langkahku terasa berat, seperti sayangku kepadamu. Harus bagaimana aku ungkap semua? Tak mungkin aku hancurkan hati untuk yang kedua kali. Apakah aku harus membiarkan hati ini terluka tanpa melukai mereka?
Ikhlas mungkin?
Ya, semoga malam ini aku bisa melupakanmu, jika tidak malam ini, mungkin besok pagi, lusa atau bisa jadi minggu depan. :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengulang Waktu
RomancePernahkah merasakan ketika sebuah kecewa datang, lalu kau menutup pintu hati begitu rapat agar kau bisa menyembuhkan luka itu dengan caramu sendiri? Setelah itu dirinya mengetuk pintu dengan halus, membersihkan sirpihan luka yang berserakan tak tent...