"Dia itu Arkana Kanaka, lo nggak tahu? Dia anak kelas sebelas sekaligus anak dari pemilik sekolah kita. Aduh, lo dalam masalah serius kali ini, Re."Retha menggigit bibir bawahnya. Mengingat bagaimana ia membentak dan marahi Arka tadi pagi di UKS membuat Retha ingin menenggelamkan kepalanya di ember es batu milik Bu Ani saja. Sepertinya jika mendinginkan kepalanya di sana akan membuat gadis itu jadi lebih cerdas dan tidak mengandalkan egonya saat marah-marah.
"Gimana dong?" tanyanya bingung.
"Jalan satu-satunya lo harus minta maaf."
Kelopak mata Retha langsung melebar. "Lo nggak tahu gimana rasanya berhadapan dengan cowok super dingin kayak dia. Mencekam banget serius, tatapannya itu horor, ngebayangin buat berhadapan lagi sama dia aja gue udah serem." Retha menyilangkan kedua tangannya lalu menggosok-gosok lengannya sendiri merasa ngeri.
"Terserah lo sih. Tapi gue ingetin aja, lo itu masih kelas sepuluh, masuk aja baru tiga bulan yang lalu, gue nggak bisa ngebayangin gimana kehidupan lo di sekolah ini kalo mempunyai masalah dengan Arka." Mila berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak sampai membayangkan kehidupan sahabatnya itu.
Retha semakin bergidik. Dari bola mata Mila, gadis itu memang terlihat tidak sedang berbohong. Retha menghela napas, merasa pengap. Padahal baru saja ia memutuskan untuk tidak terlibat lagi dengan laki-laki yang tak bisa ia baca pikirannya itu.
Tapi ini sedikit aneh, kenapa Retha tidak bisa membaca pikiran atau isi hati Arka, ia merasa tidak terbebani saat menatap mata tajamnya yang berkilat-kilat.
Mengapa hanya kepada Arka kemampuan anehnya ini tidak bereaksi?
"Re?" Retha sedikit terlonjak saat merasakan guncangan di lengannya, gadis itu langsung mengangkat pandangan, ternyata sudah ada Dean yang bergabung bersama mereka. Ah, pasti ia tadi melamun sampai tidak menyadari kedatangan laki-laki itu.
"Kok nggak pesen makanan?"
Dean adalah kakak kelasnya sekaligus sahabat Retha dari kecil. Ibu Dean dan bundanya berteman sejak remaja, rumah mereka pun berada di satu komplek yang sama, bahkan saling bersebelahan.
Retha menggeleng lemah menanggapi pertanyaan Dean, ia kemudian mengalihkan pandangan menatap Mila. Lagi-lagi suara hati yang sama tiap kali Mila menatap Dean selalu terdengar di telinga Retha.
"Kak Dean itu tampan, baik, pinter, nggak heran kalo semua cewek tergila-gila sama dia."
Bukannya Retha lancang, ia juga tidak ingin melakukan ini. Tapi sumpah, ia tidak tahu cara mengendalikan kemampuannya. Di lain sisi ia juga senang, Mila dan Dean adalah orang-orang terbaik yang Tuhan kirimkan padanya. Kedua sahabatnya itu sangat tulus, Retha akan mendukung jika keduanya bersatu menjalin kasih.
Mila bisa dibilang gadis tercantik di angkatannya. Ia begitu periang dan menyenangkan. Ia cukup pantas menerima kasih sayang dari Dean. Mila terlalu baik untuk didapatkan oleh orang lain.
Keduanya adalah sahabat terbaik Retha. Akan lebih menyenangkan jika ia dapat melihat kedua sahabatnya saling mencintai.
Namun Retha juga merasa bersalah, ia belum ada keberanian untuk memberitahu mereka tentang kemampuan anehnya ini. Mungkin mereka tidak akan percaya dengan Retha karena memang ini adalah hal yang mustahil. Ia sendiri pun masih tak percaya mempunyai kemampuan di luar nalar seperti ini.
Semenjak kemampuan aneh ini mengendap di tubuhnya sebelas tahun yang lalu, Retha selalu diliputi oleh rasa bersalah saat menatap bola mata orang lain. Kadang ia tahu niat jahat orang lain tapi tidak bisa menghentikannya, semua itu membuatnya tersiksa, tidurnya pun jadi tak pernah nyenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say Hi, Arka
Fiksi RemajaHanya dalam dua hari semuanya berubah. Saat kau datang dan menarikku tanpa sengaja, kau tak membuatkan pintu untukku keluar. Aku terkunci dalam hatimu yang beku. -Rethalia Putri.