Senyum ramah tak lepas dari bibir mungilnya. Perempuan manis dengan lesung pipi di kedua pipi sedikit berisinya, terlihat lebih manis kala ia tersenyum.
“Perkenalkan semua, namaku Hujan Ayunindya. Kalian bisa memanggilku Hujan. Aku dari Bandung, tapi tak
bisa bahasa sunda,” ucap perempuan manis itu sembari tersenyum.Rambut yang dikepang dua rapi dengan kacamata bulat menghiasi wajah kecilnya, sangat diingat jelas
oleh para penghuni kelas XI IPA 2. Adegan Hujan yang sempat salah
tempat duduk pun menjadi memori tersendiri bagi kelas itu.Kejadian itu sudah sudah tiga bulan lalu.
Sekarang Hujan sudah kenal dekat dengan teman sekelasnya, hanya beberapa saja yang memang sulit untuk berbaur dengan orang baru. Hanya butuh waktu 3 bulan Hujan
mampu mengikat hati para guru dan sebagian besar siswa di sekolah barunya. Selama tiga bulan pula, dia sangat penasaran dengan pemilik tempat duduk yang sempat ia
salah duduki.“Bintang telat lagi ya, La?” Tanya Hujan kepada Ela yang masih sibuk menyalin pekerjaan rumah dari buku tulis Hujan. Yah, biasa anak muda ketika lupa mengerjakan tugas.
Ela, teman sebangku Hujan mengangguk acuh tak acuh, tugasnya lebih penting.
“Hoii jangan rebutan dong!! Nanti buku Hujan sobek!!” Teriakan cempreng Naila menggelegar sampai ke setiap sudut ruang kelas. Memang bukan hanya Ela yang menyalin namun hampir seluruh siswa di kelas ini juga ikut menyalin.
Dasar siswa.
Kring
Bersamaan dengan bunyi bel, seorang pria berusia lebih dari setengah abad masuk ke dalam ruang kelas, menyapa siswa-siswanya dan menanyakan tugas yang beliau
berikan satu minggu yang lalu.“Belum, pak Setiaaa!!!” Teriakan seluruh siswa jelas terdengar memekik di ruangan bernuansa putih bersih itu.
Tiba-tiba dari arah pintu masuk kelas datang seorang lelaki dengan tinggi hampir menyentuh pintu, mungkin
kurang 25cm lagi dia akan menubruk bagian atas pintu jika tak menunduk. Tanpa menyapa sang guru yang sudah datang lebih dahulu, lelaki berambut hitam agak panjang untuk ukuran rambut seorang siswa itu langsung menuju tempat duduknya.“Hei Bintang! Kamu tidak sopan sekali!” tegur sang guru.
Teriakan pak Setia hanya menumpang lewat di telinga
Bintang, si lelaki tadi.Hujan yang melihat Bintang melewati dirinya langsung tersenyum dan menyapanya, "Hai, Bintang,”
Memang sudah kebiasaan Hujan untuk menyapa Bintang setiap kali mereka bertemu. Dan seperti biasa pula Bintang acuh tak acuh dengan sapaan Hujan tersebut.
"La-" bisik Hujan, ia tak mau dimarahi oleh pak guru Tejo karena mengobrol di saat mata pelajaran beliau.
"Hm?"
“Kamu tak mau bercerita mengenai Bintang ? Aku sudah tiga bulan ini berusaha mendekatinya tapi tak berhasil. Penasaran nih sama dia,” Hujan masih berbisik, kalimat yang
ia lontarkan panjang jadi ia berusaha untuk berbisik sangat sangat lirih.Setelah mendapat bisikan jawaban mengiyakan dari Ela, Hujan tersenyum bahagia.
“Bagi yang tak mengerjakan tugas Matematika hari ini, silakan meninggalkan kelas dan kerjakan di Perpustakaan,” ucap pak Tejo kepada para siswanya. Bertepatan dengan
kalimat itu berakhir, Bintang berdiri dari tempat duduknya dan keluar untuk meninggalkan kelas tanpa pamit kepada siapa pun. Hujan hanya dapat menatap punggung Bintang
yang semakin menjauh sebelum ditelan pintu kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamomil; Hujan untuk Bintang
Short StoryHujan bukan bencana. Dia datang untuk memeluk Bintang yang sedang redup.