05 - Terlibat lagi

1.1K 84 3
                                    

Terlalu banyak yang terjadi dalam sehari gara-gara Arka. Retha merasa penat, ia ingin segera pulang dan mengumpulkan energinya yang sempat terkuras karena cowok itu.

Namun, keinginannya harus ia tahan dulu saat melihat jadwal piket besok pagi. Ia tertahan di sekolah karena harus menjalankan tugasnya.

Retha mengangkat kursi dan membalikkannya di atas meja bersama lima orang temannya yang menjadi rekan piketnya. Ia bekerja dalam diam, mood Retha sedang buruk sekarang, ia juga malas menatap teman-temannya, mendengar suara hati mereka hanya akan memperburuk mood gadis itu.

"Re?"

Retha mengangkat pandangan menatap Siska yang mulai mendekatinya. Sebenarnya Retha tidak berniat berlama-lama menatap gadis dengan baju ketatnya itu. Namun saat mendengar Siska menghujat dirinya dalam hati membuat gadis itu menatapnya tak suka.

"Waktu jam istirahat pertama gue liat Arka bersama lo di koridor perpustakaan."

Retha terdiam tanpa memberikan ekspresi apapun, ia hanya fokus menatap kedua bola mata Siska yang berlapis softlens tersebut.

"Kenapa Re? Lo kaget karena kepergok godain Arka? Wajah polos lo ternyata nggak bisa jadi jaminan. Tampang lo ini cuma cover sempurna yang menutupi sikap busuk lo."

Retha meremat kuat gagang sapu yang ia pegang. Ia masih berusaha menahan emosi agar tidak meledak.

"Kalo gue boleh kasih saran sih, Re, sebaiknya lo hati-hati sama Arka, jangan natap dia lebih dari tiga detik, kalo enggak gue nggak bisa jamin kalo lo bisa hidup tenang di sekolah ini."

Retha terdiam, sepertinya Siska tak sedang berbohong, sekarang pun hidupnya juga sudah mulai tak nyaman karena cowok itu.

"Kalo lo suka sama dia, mending lo mikir-mikir lagi deh. Arka itu bukan cowok yang mudah didapatkan hatinya. Tapi kalo lo maksa, gue cuma bisa bilang, good luck."

Senyum meremehkan Siska mengembang sebelum ia berbalik meninggalkan Retha. Namun kemudian ia kembali menoleh. "Oh ya Re, sorry kita lagi ada urusan penting, lo yang ngelanjutin piketnya nggak apa-apa 'kan?"

Rahang Retha mengeras, namun ia hanya bisa diam saat lima temannya keluar meninggalkan kelas, membuang sembarangan sapu dan kemoceng yang tadi mereka gunakan untuk bersih-bersih.

Retha menghela napas, berusaha untuk bersabar. Semua ini terjadi karena Arka, cowok itu benar-benar seperti bencana baginya.

15 menit berlalu, Retha baru saja menyelesaikan tuganya, ia melangkah ke bangkunya dan mengambil tas lalu keluar meninggalkan kelas.

Retha berjalan menyusuri koridor yang sudah sepi, hanya beberapa OSIS yang tersisa di sekolah entah sedang melakukan apa.

Retha tak peduli, lagipula ia tak tertarik dengan organisasi apa pun di sekolahnya, bukannya ia tidak mau bersosialisasi, namun berada di perkumpulan orang asing akan membuatnya tidak nyaman. Kemampuan anehnya yang menghambat Retha. Kemampuan yang terkadang ia sebut sebagai kutukan.

Retha menjatuhkan duduknya di bangku halte, menunggu kendaraan yang bisa mengantarnya pulang. Untuk membunuh kejenuhan, Retha mengeluarkan ponselnya dan menyambungkan headset di sana, dua benda itu adalah sahabat terbaiknya, pelarian yang paling ampuh untuk membuatnya tetap bisa bertahan di tengah keramaian.

Walaupun halte saat itu sedang sepi, hanya saja Retha ingin mendapatkan kenyamanan. Disandarkannya punggung lelah miliknya pada pilar di belakang.

Pikiran Retha kembali melanglang buana, sosok dengan tatapan laser itu memenuhi kepalanya.

Say Hi, ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang