Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, Zaen masih saja duduk terpaku di balkon dekat kamarnya. Di kedua telinganya terpasang headset berwarna putih yang ujungnya dihubungkan dengan ponselnya. Pandangan matanya menatap lurus ke langit yang dihadapankan dengan pemandangan bulan sabit dan juga bintang yang memadu kasih di kegelapan malam.
Kesetian bulan dan bintang mengingatkan Zaen akan kisah cintanya. Mereka terlihat begitu dekat, namun sebenarnya terpisah jarak yang begitu jauh. Seperti halnya suara indah lantunan ayat suci yang ia dengarkan saat ini. Ia mampu mendengar suara indah gadis itu tapi keberadaannya sekarang pun tak ia ketahui. Nasib akan cintanya yang terbalas atau tidak pun juga ia belum tahu.
Ingin rasanya ia kembali ke masa lalu. Masa dimana ia mampu melihat gadis itu walau tanpa sapaan darinya. Tapi apalah daya masa lalu seperti halnya jarak ia dengan bintang. Jarak yang tak mungkin terlampui, namun mampu untuk dipandangi sebagai kiblat untuk masa yang akan datang.
Zaen menghembuskan nafas pelan dan mengambil sekuntum mawar yang ia petik beberapa jam lalu sebelum menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Sebegitu pentingnya mawar itu bagi dirinya hingga ia lebih merindukannya dibanding dengan suasana rumah yang menjadi saksi perjuangan hidupnya.
"Zaen!"
Zaen langsung tersentak saat tiba-tiba Ali menepuk pundaknya.
"Masya Allah sampean ngagetin aja, Li," ucap Zaen sambil mengelus dadanya dan melepas headset yang terpasang di telinganya. Lawan bicara bukan merasa bersalah, tapi malah langsung tertawa lepas.
"Lha sampean lo nglamun ae sampek ndak sadar tak perhatiin dari tadi."
"Lo masak sampean berdiri di situ udah lama, Li?"
"Ya sekitar lima menitan lah." Ali pun segera mengambil posisi duduk di kursi jati panjang yang juga diduduki oleh Zaen. "Kamu itu lo nglamunin apa sampek selarut ini? Dan sejak kapan jadi pecinta mawar gini?" goda Ali seraya mengambil mawar yang sedang dipegang Zaen.
Zaen kembali menghembuskan nafasnya pelan sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia tak bernafsu menimpali candaan temannya itu.
"Ceritanya cukup panjang, Li. Dia yang menyita rinduku selama ini."
"La nek gitu ya segera aja dilamar to Zaen, Zaen. Gitu aja repot. Masak ndak berani? Opo perlu tak lamarne terus tak pek dewe nek ayu." Tawa Ali kembali meledak.
"Ngawur aja kamu." Zaen pun langsung melemparkan kacang yang sedari tadi nganggur tanpa ia sentuh sedikit pun.
"La emang piye to piye?"
"Dia itu sebenarnya temannya Syifa adekku itu. Tapi dua tahun lalu dia boyong dari pondoknya tanpa bilang-bilang. Syifa sendiri pun tak tahu keberadaan Hasna sekarang."
"Oalah namanya Hasna to, gini ya, Zaen ..." Ali pun mengubah posisi duduknya menghadap ke Zaen sambil kaki kanannya ia tekuk diatas kursi. "Namanya jodoh itu ya perlu dicatet ... seberapa jauh pun kamu mengejar kalo dia bukan jodoh kamu dia gak bakal kamu dapatkan. Dan seberapa jauh dia berada sekarang ataupun kamu seberapa usaha kamu hindari dia pasti juga akan mendekat. Lalu jodoh itu juga seperti bayanganmu sendiri semakin kamu kejar semakin pula dia menjauh."
"Jadi intinya?"
"Halah kamu itu ngetes aku atau gimana coba?"
"Lanjutno penjelasane, aku mendadak bodoh gara-gara cinta ini, Li."
"Halah gayamu, Zaen. Intinya belajar sama Siti Zulaikah ketika beliau mengejar cintanya Nabi Yusuf, malah beliau menjauh. Tapi ketika Zulaikah tobat dan lebih memilih mengejar cintanya Allah. Maka Allah berikan Yusuf kepadanya. Jadi, serahkan semuanya kepada Allah. Jangan hanya karena cinta kepada manusia lalu kamu abaikan cintamu kepada Rabbmu. Inget, ilmu yang kita dapat dari Habaib di Tarim harus diamalkan. Kejar ridho-Nya dengan cara kita menumpahkan segala cinta kita kepada-Nya dan kekasih-Nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHLIGAI CINTA SANTRI NDALEM
Roman d'amourYusuf Mahfudz santri abdi dalem yang populer diharuskan mengajar santri putri yang terdapat seorang gadis yang terkenal dengan banyaknya catatan kasus pelanggaran, Nadia Hasna. Sabarkah Yusuf menghadapi murid yang nyentrik itu? Padahal ia terkenal k...