Part III "Benih Kenyamanan"

19 4 2
                                    

Pada pagi yang setenang ini, Lisa si gadis rusuh itu mengajak videocall-an dengan ku lewat Whatsapp.

Kedamaianku pada pagi itu tiba-tiba hancur.

"Yaaaa, kenapa mengganggu ku pagi-pagi begini Lis?" ucapku dengan sedikit respond tak bergairah.

"Apa kau engga baca chat grup kelas semalam?" kata Lisa padaku.

"Oh..., tentang hang-out bareng ke pantai entar sore?" jawabku.

"Sore apanya, weyy... Pagi ini kita mesti udah on the way." kata Lisa dengan lantang.

"Aku sebenarnya males Lis, ngga ada motor juga mau kesana."

"Aku sebenarnya mau bareng sama kamu, tapi Rita nawarin buat bonceng-in aku." jawab Lisa dengan ekspresi sedikit menyesal.

"Yaudah, aku juga gak masalahin hal itu. Aku cuma mau negasin buat engga ikut."

Aku pun pamit dan menutup VC dari Lisa.

Tapi yang tak ku sangka, si Lisa itu chat secara personal dengan Dimas.

"Dim, entar kamu bonceng-in siapa ke pantai?" tanya Lisa.

"Sendiri sih, kenapa?" jawab Dimas.

"Bonceng-in Kania dong."

"Loh, kenapa ngga sama kamu?" tanya Dimas.

"Aku tuh udah sama Rita." kata Lisa.

"Oh yaudah, Kania bareng aku ajah." kata Dimas.

Setelah itu, Dimas langsung menelfon ku via Whatsapp.

Dia meminta ku untuk send-location kost-an ku dan menyuruh ku untuk bersiap-siap karena sekitar dalam 25 menit lagi dia bakal sampai.

Aku sebelumnya memang tidak ingin ikut bukan karena engga ada kendaraan, tapi lebih ke malas buat berbaur. Dimas juga tidak memberi kesempatan ku untuk menolak, aku pun secara engga langsung meng-iyakan.

30 menit kemudian Dimas pun sampai, dan kita langsung menuju ke titik kumpul buat pergi bareng.

Selama di perjalanan menuju pantai, yang kurang lebih memakan waktu sejam, aku ngerasa canggung dan ingin rasanya diriku memecahkan keheningan ini.

"Nia, kamu lihat kan gerbang di depan sana? kalau udah mau dekat gerbang, kamu pegangan yang erat yah. Soalnya sehabis gerbang itu, jalannya rada curam dan juga berlubang." kata Dimas dengan nada yang tegas.

Setegas apa pun dia berkata, tapi perkataannya yang menyuruhku untuk pegangan yang erat padanya seakan meminta back-hug dariku.

Setelah itu, selama melewati jalanan yang buruk itu, Dimas selalu mengatakan sesuatu yang terasa seperti mengkhawatirkan kondisiku.

"Kamu kalau engga terbiasa dengan kecepatan yang segini, aku bakal memperlambat laju motornya, biar kamu engga khawatir jikalau aku engga sengaja nabrak lubang." kata Dimas yang seperti sedang menenangkan-ku.

Entah kenapa di dalam hati ini terasa nyaman berada dekat dengan Dimas. Sebenarnya, aku engga terbiasa berbonceng-an dengan cowok, apalagi sampai sedekat ini.

Beriringan dengan teman yang lain, akhirnya kami pun sampai di pantai yang sunyi ini, seakan-akan pantai milik kami pribadi.

Kami pun memanggang ikan yang telah kami bawa sembari menunggu para cowok memetik buah kelapa.

Menghabiskan waktu bersama disana ternyata cukup mengasyikkan. Pandangan tentang suasana yang canggung ternyata hanya hayalanku semata.

Waktu terus berjalan, tak terasa hari sudah mau malam. Kami yang semula berencana balik sebelum malam, memutuskan untuk bermalam di pantai. Yang cukup menguntungkan, ada beberapa penduduk setempat yang menyewakan tenda.

Ku kira keseruan ini akan berlanjut hingga tengah malam. Tapi, ternyata teman-teman yang lain sudah tidak sanggup untuk terjaga hingga tengah malam.

Sambil termenung di dalam tenda sembari memandang ke arah lautan yang tenang, diriku terhanyut dengan kesunyian ini.

Tapi, handphoneku malah berbunyi. Ternyata, Dimas mengirimkanku sebuah pesan.

"Udah tidur belum? Kalau belum, keluarlah sebentar. Aku menunggumu di dekat api unggun." pesan Dimas padaku.

Tubuh ini terasa enggan untuk bangkit dan menghampirinya. Aku malah tersipu malu hanya dengan pesan yang ia kirimkan padaku.

******

TAKUT JATUH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang