Setelah berbulan-bulan menghadapi libur panjang karena wabah virus nakal di Indonesia bahkan di seluruh dunia, akhirnya kegiatan belajar-mengajar di sekolah mulai berjalan. Pagi ini, Sefita, Nadia, dan Vina memulai hari dengan berangkat sekolah bersama, tentu saja tanpa Listi.
Sudah sekitar enam bulan gadis itu tak memberikan kabar kepada mereka. Jangankan memberi kabar, memberi tahu di mana alamat rumahnya saja tidak.
Sekolah tampak begitu riuh, banyak siswa-siswi kelas sebelas dan dua belas yang sudah memasang diri di pinggir lapangan untuk melihat dedek-dedek gemas yang sedang menjalankan masa orientasi.
Melihat itu membuat Sefita menggelengkan kepala. Apa untungnya? Senang? Bahkan selain adik kelas, kakak kelas juga masih banyak yang berparas luar biasa. Tapi mau bagaimana lagi, kegiatan ini sudah seperti tradisi turun temurun di setiap sekolah.
"Gue mau ikut mereka ya, kalian kalau mau ke kelas duluan aja." Vina berlari menuju sisi lapangan, mendekati beberapa murid populer yang tengah memasang wajah sok kerennya. Nadia dan Sefita yang terabaikan pun memilih kembali berjalan menyusuri koridor dengan sesekali tersenyum saat ada adik kelas yang menyapa.
Sampai di kelas, hanya ada beberapa murid yang memilih tetap tinggal di ruangan itu, yang lain sudah pasti berada di lapangan. "Nad, kita mau duduk di mana?"
Nadia mengedarkan pandangan, menyeret Sefita ke bangku belakang yang masih kosong tanpa penghuni. Hari ini nanti, mungkin hanya akan diadakan kegiatan kelas. Seperti menyusun struktur organisasi kelas, jadwal piket, kelompok belajar, dan beberapa hal yang sering dilaksanakan saat kenaikan.
"Listi kok belum dateng, ya?"
Sefita menoleh menatap Nadia. Gadis itu lalu mengedarkan pandangan ke seluruh kursi di kelas guna mencari keberadaan tas Listi. Dari ujung kiri depan hingga ujung kanan depan, beralih ke belakang, terus ke belakang, lalu ke belakang lagi, hingga sampai deretan paling belakang tempatnya duduk saat ini, tak sama sekali ia lihat tas berwarna hijau muda dengan gantungan kunci bermotif bunga di resletingnya.
"Apa Listi ganti tas ya, Nad? Kok nggak ada?"
"Bisa jadi ... tapi kalau dia ganti tas, seharusnya orangnya ada di sini. Kan dia nggak pernah mau ikut rame-rame di lapangan kayak tadi."
Kedua gadis itu kembali bingung. Sebenarnya di mana Listi? Apakah gadis itu belum berangkat?
Sebuah teguran dari Vina yang baru saja datang membuat Nadia dan Sefita tersadar dari lamunan. Gadis itu tampak panik sambil mengibas-kibaskan tangannya ke arah mereka berdua.
Nadia mengernyit. "Lo kenapa sih, Vin? Diare?" Mendengar pertanyaan yang Nadia lontarkan membuat Sefita menggeplak keras kepala Nadia. "Kenapa sih, Ta? Gue salah apa?" Sefita melotot sewot lalu menatap Vina heran. "Emang lo beneran diare, Vin?"
"Aelah semprul!"
Sefita terkekeh menanggapi gerutuan Nadia. Fokus mereka pun kembali terarah pada Vina yang tingkahnya semakin menjadi. "SEBENERNYA LO KENAPA SIH, VIN?!"
Vina terlonjak kaget, tubuhnya ia mundurkan hingga membuat teman yang duduk di belakangnya ikut nyusruk membentur meja. Untung saja hanya tangan yang terbentur, kalau sampai yang kena bagian kepala, alamat sudah hidup Vina. "
Punya beban apa sih, Vin? Lo bosen napas?""Enak aja lo kalo ngomong. Diem deh!" Vina menggeplak singkat bahu cowok itu lalu kembali heboh di hadapan Sefita dan Nadia. "Kalian tahu nggak ... Listi ... dia tadi masuk ke ruang guru!"
"Aplikasi?"
"Nadia lolot! Kantor woy kantor!"
"Bilang dong dari tadi ... bentar ... APA?! KENAPA DIA KE SANA?!"
Tidak seperti Nadia dan Vina yang sama-sama heboh, Sefita langsung berlari menuju tempat yang Vina sebutkan tadi. Apa Listi benar-benar ingin pergi meninggalkan mereka? Tapi kenapa?
Sampai di kantor, Sefita tidak menemukan keberadaan Listi. Melihat adanya Bu Nilam di sana, membuat Sefita mendekat dan bertanya pada guru BK itu. "Bu, Listi di mana?"
"Sudah pulang, dia pindah sekolah." Terkejut, Sefita pun berinisiatif untuk mencari gadis itu di parkiran. Berlari kencang tanpa memedulikan orang-orang di sekitarnya. Namun sia-sia, Listi tetap saja tidak ada di sana. Kini yang bisa Sefita lakukan hanyalah duduk di atas motor sambil memandang sayu gerbang sekolah yang baru saja ditutup oleh Pak satpam.
"LISTIII ... LISTI TUNGGU! LISTIII ...." Percuma. Listi tidak akan mendengar teriakan Sefita.
Gadis itu sudah pergi.
Mengapa dia tidak memberikan salam perpisahan kepada ketiga sahabatnya? Mengapa dia memilih egois tanpa memedulikan perasaan mereka? Sefita tahu Listi hancur, tapi setidaknya dia dan kedua sahabatnya masih bisa menghibur gadis itu saat dirinya sedih.
Sekarang ... Listi benar-benar pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekutu Garis Keras (Sudah Terbit) PART BELUM DIHAPUS 🥰
De TodoSahabat itu penting, di saat keluarga tidak menyisakan ruang sahabatlah yang pertama kali memberi peluang. Mereka merengkuh ketika rapuh, menopang ketika tumbang, dan menemani ketika sendiri. Tapi bagaimana jika salah satu dari mereka pergi tanpa pa...