Sewajarnya dalam sebuah dongeng atau kisah heroik, perempuan jadi pihak yang dilindungi lelaki.
Berdasarkan kalimat itulah Vino, seorang ilmuwan yang punya hobi membaca mitologi dan berbagai cerita rakyat dunia di waktu luangnya, mendapat ide menarik.
“Bagaimana jika kita menciptakan senjata lewat persatuan laki-laki dan perempuan, seperti memproduksi anak?”
Tahu idenya akan diragukan, bahkan dihina berbagai pihak—terutama oleh para petinggi militer yang jarang menganggap ide-idenya oke — Vino tidak mengatakannya pada siapapun selain Forma, asistennya. Forma yang tahu benar kalau bos-nya adalah kombinasi dari jenius, sinting, dan kurang kerjaan tidak berkomentar apapun selain—
“Terserah anda sajalah, Bos.”
—dan mulai menyiapkan donat serta berbagai macam minuman untuk Vino. Sang atasan sendiri sudah asyik membongkar berbagai buku sejarah tentang aneka ritual memproduksi anak yang ada di dunia.
***
“Jadi, karena itu, untuk urusan pembelahan selnya, aku minta bantuanmu, ya?” pinta Vino pada Lamina—rekan peneliti, sahabat sejak kecil, dan pemegang rekor cinta pertamanya yang masih belum terbalaskan hingga detik ini.
“Beri dua alasan agar aku tidak menendang kalian keluar,” wanita berambut coklat itu berkata setelah menatap Vino kira-kira setengah menit lamanya. Saat ini jam empat pagi, dan Lamina baru saja pergi tidur ketika jendela kamarnya mendadak terbuka dan kedua tamunya masuk dengan gaduh. Vino langsung mengoceh panjang lebar tentang ide barunya. Sesekali Forma menyikutnya karena terlalu berisik, membuat suaranya mendadak terhenti seperti ayam dicekik.
“Maafkan kebodohan bos saya, Nona Lamina,” kata Forma akhirnya sambil mendorong kepala Vino hingga kepala yang bersangkutan tersuruk ke keranjang sampah. Ia kemudian menjelaskan pada Lamina tentang ilham Vino, kemajuan percobaannya, serta hambatan yang baru mereka sadari pagi ini; Vino tidak benar-benar paham konsep pembelahan sel. Wajar, karena Vino bukanlah pakar biologi seperti Lamina.
“Lalu kenapa aku?” tanya Lamina malas. Sejujurnya, Lamina suka pada Vino, yang tak pernah pelit atau mengangkangi hasil penelitian sendirian. Tapi bekerja dengan teman kecilnya itu adalah suatu ujian melelahkan yang penuh drama. Terbukti, baru saja ia memikirkan hal tersebut, Vino berlutut, dan berkata, “Tolonglah! Hanya kau yang benar-benar memahamiku!” dengan mata berkaca-kaca.
“Baik. Tunjukkan rancanganmu.”
Lamina memasang kacamata tanpa mengindahkan rayuan terang-terangan Vino—yang langsung mendengking pilu. Ia menerima buku berisi konsep Vino yang diberikan oleh Forma. “Ah,” gumamnya setelah membaca sekilas, “kusangka kau sedang terkontaminasi film biru kacangan waktu mendapat ilham ini. Ternyata menarik juga.”
“Memangnya kamu pikir aku mau membuat seperti apa?”
“Yaa, kau bilang ‘seperti memproduksi anak’, yang pertama terpikir pastinya berhubungan dengan…”