Bab 23

12.1K 2.1K 59
                                    

Berita kematian kedua adik dari Perwira Raksa yang terjadi secara mendadak menjadi headline news. Hampir semua pemberitaan di televisi menayangkan itu. Mirisnya kedua pria yang mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari Perwira Raksa itu mati dalam keadaan tidak terhormat. Yang satu kecelakaan dengan gadis muda yang disinyalir sebagai selingkuhannya. Yang satu serangan jantung di hotel dan ditemukan dalam keadaan tak berbusana. Entah sekotor apa kehidupan orang-orang kaya itu, Hanin tidak bisa membayangkannya.

Kedua pilar keluarga Raksa itu masih memiliki istri dan anak-anak perempuan, tapi kakek bangkotan itu sepertinya tidak ingat akhirat. Mereka bahkan berselingkuh dengan anak muda yang lebih pantas menjadi cucu mereka. Anak mudanya juga, kenapa bisa berakhir menjadi selingkuhan aki-aki. Apa mencari uang sesulit itu, hingga harga diripun diperjual belikan. Jika mengingat kesana, Hanin merasa beruntung meskipun hidupnya tidak baik-baik saja, tapi dia tidak sampai tahap harus merendahkan diri hanya demi uang.

Narendra belum kembali setelah berpamitan 3 hari lalu. Kini Hanin merawat kedua anak itu sendirian. Dia harus menahan sakit punggung dan pundaknya karena menggendong Bintang dalam waktu lama. Tidak ada perubahan yang berarti pada kedua anak itu, yang pasti keduanya sudah mulai makan dengan baik sekarang. Beruntung Mentari bisa diajak kompromi sekarang sehingga hanya Bintang yang menguras tenaganya. Efek tidak tinggal dengan pria dewasa mungkin membuat Mentari tidak lagi was-was. Meskipun kerap kali Hanin mendapati tatapan kosong anak itu, tapi setidaknya Mentari sudah bisa menonton televisi dan merespon ketika di panggil.

Sesuai amanat Narendra, dia tidak menghubungi siapapun selama 3 hari ini. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari dia belanja secara online yang bisa dibayar di tempat. Hingga hari ini, belum ada kabar apapun dari Narendra. Tapi, Hanin sempat melihat Narendra sekilas di televisi ketika menemani Perwira Raksa mengkonfirmasi berita kematian kedua adiknya kepada wartawan. Keadaan pria itu baik-baik saja dan sepertinya pria itu juga lupa meninggalkan dia dan dua orang anak yang harus diurus. Sepertinya Hanin tidak sadar saat ini dia mengeluh seolah dia adalah seorang istri yang suaminya tidak pulang-pulang. Hidupnya yang tiba-tiba berubah drastis nampaknya sedikit mengganggu  isi kepalanya.

Tarikan di ujung baju yang Hanin kenakan membuat wanita yang sedang sibuk membuat nasi goreng untuk sarapan itu terhenti. Meskipun pikiran Hanin kesana kemari, tapi tangannya tetap terampil meracik bumbu untuk nasi goreng. Zaman sekarang semua sudah serba mudah, karena bumbu nasi goreng instan sudah bertebaran dimana-mana. Hanin mematikan kompor dan melihat siapa yang menarik-narik bajunya. Hanin langsung memberikan senyum manisnya ketika melihat si kecil Bintanglah yang menjadi pelakunya. Bintang mungkin sebenarnya bisa bicara, karena anak itu pernah mengucapkan beberapa kata. Tapi, sepertinya anak itu belum mau bicara dan memilih mengungkapkan keinginannya dengan gerak tubuh.  Tinggal dengan dua orang anak yang tidak bicara, kebayangkan betapa sepinya hidup Hanin di rumah ini.

"Kamu sudah bangun? Bagaimana tidurmu?" Tanya Hanin dengan senyum seramah mungkin agar Bintang nyaman dengannya. Hanin membawa Bintang ke gendongannya. Ini leajaiban, karena Bintang bangun tanpa menangis terlebih dahulu.

"Anak pintar... sekarang Bintang sudah tidak menangis ketika bangun tidur." Puji Hanin mengecup kening anak itu sekilas.

"Ayo kita cuci muka dan ganti pampersmu sebelum makan." Ucap Hanin membawa Bintang ke kamar mandi. Hanin terus mengajak Bintang bicara meskipun tidak ada tanggapan sama sekali. Orang bilang jika ingin anak cepat bicara, maka rajinlah mengajak anak bicara. Hanin juga berpikiran seperti itu, siapa tahu suatu hari Bintang menanggapi pembicaraannya.

Sekembalinya dari kamar mandi, nasi goreng yang tadi Hanin masak sudah tersaji di meja. Sepertinya Mentari mulai menyesuaikan diri dengan keadaan. Anak itu mulai mau mengerjakan sesuatu dan tidak hanya melamun saja.

"Hai selamat pagi kakak Mentari... terima kasih sudah menyajikan sarapan untuk kita." Ucap Hanin ceria, biarpun tidak ada tanggapan apapun dari anak-anak itu, setidaknya Hanin harus terap ceria agar suasana tetap hidup.

Mentari merespon ucapan Hanin dengan mengangguk, dan ini sebuah keajaiban lainnya. Melihat kedua anak itu yang mulai mau bekerja sama membuat Hanin lega. Pikiran sombongnya berpikir jika ternyata dia cukup handal menangani kedua anak itu meskipun tanpa Narendra.

****************

Para pelayat masih berdatangan ke rumah besar Perwira Raksa karena disanalah kedua adiknya disemayamkan sebelum dikuburkan. Keluarga mana yang akan dengan senang hati menerima keluarga mereka yang kedapatan mati saat berselingkuh, dan Perwira Raksa tahu itu tidak mudah. Narendra masih berada di rumah itu untuk menemani Perwira Raksa yang tak jua membuka mulutnya sejak berita kematian adik-adiknya diturunkan.

"Minta pengacara untuk segera mempercepat surat wasiatku dan surat pengalihan harta-hartaku." Ucap Perwira Raksa saat mereka hanya bertiga dengan Elang.

"Sebenarnya apa yang terjadi, rasanya ganjil melihat mereka meninggal secara bersama-sama dalam keadaan yang hampir sama pula. Tidakkah kematian mereka mencurigakan?" Tanya Narendra.

"Cukup jaga kedua anak-anak Arka dan jangan pikirkan apapun lagi." Ucap Perwira Raksa terlihat enggan membahas kematian sanak saudaranya.

"Tapi...."

"Narendra, aku membesarkanmu jauh dariku bukan tanpa alasan. Aku ingin kau tetap hidup dengan baik dan jauh dari bahaya. Hanya kau satu-satunya anak yang aku miliki sekarang, jangan biarkan aku semakin bersalah pada ibumu. Aku sudah berjanji jika aku akan melindungimu sekuat tenaga pada ibumu. Aku tidak berhasil menjaga kakakmu, jadi biarkan aku menjagamu dengan tidak membiarkanmu terlibat lebih jauh pada masalah ini." Ucap Perwira Raksa memotong ucapan Narendra. Perwira Raksa melupakan kehadiran Elang disekitar mereka yang syok mendengar hubungan asli antara Perwira Raksa dengan Narendra.

"Tapi kau terlanjur menyeretku masuk dengan menitipkan anak-anak itu padaku. Aku tidak bisa tidak penasaran dengan apa yang terjadi hingga nyawa anak-anak tidak bersalah menjadi taruhannya." Bantah Narendra.

"Narendra, cukup jaga anak-anak itu dan jangan terlibat terlalu dalam." Perintah Perwira Raksa sekali lagi.

"Siapa sebenarnya iblis itu? Kenapa kau malah melindunginya padahal kau tahu jika dia sudah merenggut nyawa banyak orang?" Tanya Narendra sedikit emosi.

"Narendra, jaga bicaramu" Ucap Perwira Raksa tidak terima.

"Okay terserah, lakukan sesukamu. Aku tidak akan berurusan lagi dengan apapun yang menyangkut dirimu. Kita hanya orang asing yang kebetulan terikat hubungan darah bukan." Ucap Narendra membuat raut kemarahan diwajah Perwira Raksa berubah menjadi kesedihan.

"Seharusnya sejak awal aku tidak perlu terlalu peduli pada orang yang dengan tega mengusir istrinya yang sedang hamil dari rumah ke jalanan." Ucap Narendra lagi seraya pergi meninggalkan ruangan itu tanpa berbalik lagi.

"Ikuti dia, pastikan dia baik-baik saja." Ucap Perwira Raksa pada Elang yang sejak tadi hanya diam menyaksikan perdebatan ayah dan anak itu.

"Tuan..." Elang hendak membantah karena tak tega meninggalkan tuannya yang dia tahu dengan pasti, tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku berada di rumahku sendiri, aku yakin dia tidak akan membunuhku karena dia belum puas menyiksaku." Ucap Perwira Raksa dengan suara paraunya.

Elang akhirnya mau tidak mau mengangguk dan melaksanakan perintah Perwira Raksa untuk mengikuti Narendra.

"Maafkan ayahmu ini nak, aku tidak ingin kau terluka tapi juga tidak bisa untuk melukainya. Biarlah, biarlah aku yang menanggung dosanya karena apa yang dia lakukan adalah akibat dari kemarahannya padaku." Ucap Perwira Raksa sendu.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang