Aku berharap bisa se-cantik Gigi Hadid. Perkenalkan, aku Gusi Hadid. Sudah mandi, pakai seragam, dan sedang duduk di kursi penumpang sebelah kemudi dengan rambut basah sehabis keramas. Mobil sedan hitam milik Papa melaju cepat, karena Mama yang mengendarainya. Aku tidak keberatan, karena aku sudah telat!
"Udah mama bilangin tidur jangan malem-malem. Mikirin apa sih emang? Begadangin apaan?" Tanyanya.
Hidup, Ma. Aku berpikir kenapa hidup seperti ini.
"Mama juga kesiangan bangunnya." Balasku.
Mama diam. Enggan beragumen denganku di pagi hari yang tidak cerah, juga tidak mendung ini.
"Huh... Yaudah pokoknya besok-besok jangan kesiangan lagi." Jawabnya.
Bunyi lampu sein dengan anak panah ke kanan memenuhi atmosfer dalam mobil. Sekolah di depan mata. School sucks. Aku harus sekolah karena aku perlu ijazahnya, kalau kenangannya tidak perlu. Benar-benar tidak berguna.
"Dah, nanti mama jemput." Ujarnya ketika mobil sudah sampai di parkiran sekolah yang bertulis 'Parkir mobil SMA Angkasa' dan tentunya parkiran motor yang berada di belakang gedung.
"Oke." Aku mencium pipi Mama dan membuka pintu.
Berjalan dengan langkah mantap dan tetap dengan wajah yang menghadap ke jalan. Lebih mudah untukku berjalan menunduk. Aku bisa tahu orang yang ada di depanku melalui sepatu yang mereka pakai. Aku suka menerka.
"Selamat pagi, semoga hari ini hari keberuntunganmu!" Aku tersentak.
Aku menutup telingaku reflek. Sepatu kulit berwarna hitam, dan celana jeans biru muda, jelas ada seseorang di sebelahku yang pastinya bukan salah satu murid disini. Terkaanku, orang ini lumayan rapi, dan wangi. Sumpah, parfumnya membuat hidungku sesak.
Aku mendongak. "Halo." Ujarnya. Dia tersenyum. Laki-laki yang kemarin menyender di mobil Papa.
Dia menawarkan selembaran berwarna biru tua dengan segala bonus-bonus informasi di dalamnya. Di tambah, wajahnya yang menjadi salah satu model di lembaran tipis yang akan di buat pesawat kertas nantinya.
Dia mengikuti langkahku. Brosur yang ada di tangannya aku tolak. Aku tidak butuh bimbel, hanya saja jangan sampai mama lihat brosur itu. Aku tahu dia menginginkanku untuk ikut les dan bla bla bla. Mama hanya mau aku menjadi remaja yang produktif.
"Diskon loh, Kak. Untuk pendaftaran awal bulan dapet potongan 20 persen." Ujarnya dibelakangku.
Aku masih tetap menghiraukannya sampai dia pergi. Dia tidak pergi.
"Cuma berlaku buat murid sekolah ini aja loh, Kak." Ujarnya lagi.
"Kak?"
Kak, kak, kak. Kakak tua?
Akhirnya aku menghentikan langkahku lalu mendongak menatap orang asing yang ada di hadapanku. Sial, dia tinggi sekali. Aku mengambil brosur itu dengan paksa dari tangannya.
Besok jangan kembali lagi.
Lalu dia berseru. "Terima kasih!"
Aku bernapas lega. Setelah 5 langkah sebelum masuk koridor, aku membuang brosur itu ke dalam tong sampah yang berada di dekat pohon. Pikirku, aku cukup baik karena telah mengambil brosur darinya. Setidaknya brosurnya habis terbagi walau ujung-ujungnya di buang.
Terdengar derap langkah kaki yang cepat dari belakang. Pasti siswi lain yang belum mengerjakan PR.
"Kenapa di buang?"
Cowok tadi.
Aku menatapnya takut. Rahangnya mengeras. Beda dengan dirinya yang tadi tersenyum saat bicara. Aku panik. Dia terlihat begitu menakutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Care Too Much
Fiksi RemajaIngat-ingat ya. Jadi manusia itu jangan terlalu peduli kepada sesama. Tahu alasannya apa? Peduli itu = MENYUSAHKAN.