17. The Truth Untold.

76 9 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Entah karena apa, kondisi kesehatanku semakin memburuk pagi ini. Alhasil eomma menyuruhku untuk istirahat dulu di rumah, padahal waktu penilaian akhir semester sudah dekat.

Tapi ya sudahlah. Kapan lagi aku bisa berleha leha di rumah seperti ini. Kendati sebenarnya, kepalaku pusing sekali. Mau makan saja rasanya hambar.

Rumah kosong dan sepi. Tentu saja karena Justin dan Renjun 'kan sekolah. Sedangkan eomma dan appa sudah berangkat bekerja sejak tadi. Hyunjin juga belum muncul, mungkin masih terlalu pagi untuk melihatnya.

Honestly, aku masih agak trauma dengan kejadian di serang iblis malam itu. Bagaimanapun, itu pengalaman pertama dalam sejarah hidupku. Dan lagipula, siapa orang gila yang dengan sukarela mau mengalami kejadian seperti itu? Sialnya lagi, saat itu aku juga sendirian, sama seperti sekarang.

Memilih melupakan kejadian sial itu, aku bangkit dari kasur yang sudah berjam jam kutiduri. Melongok ke atas nakas dan mendapati kalau jarum panjangnya menunjuk ke pukul delapan.

Pelan pelan, aku turun dari kasur. Kemudian menguatkan diri, berpegangan pada dinding kamar layaknya anak kecil yang baru belajar berjalan. Bukan karena apa apa, masalahnya kepalaku benar benar tidak bisa di ajak kerjasama. Kalau aku pingsan 'kan tidak lucu. Pasti tubuhku akan tergeletak begitu saja tanpa ada yang memindahkan.

Usai bersusah payah mencapai kamar mandi dan membasuh muka, aku kembali lagi duduk di atas ranjang. Kemudian baru saja aku ingat kalau eomma punya obat sakit kepala di kamarnya. Lagi-lagi, harus susah payah kulangkahkan kakiku menuju kamar eomma.

Untung saja eomma tidak pernah mengunci pintu kamarnya, jadi aku bisa dengan leluasa masuk ke dalam. Yang jadi masalah, aku bahkan tidak tahu di mana obat itu di simpan. 

Kuputuskan untuk membuka laci di lemari kecil di samping tempat tidur eomma

"Aishh, eodiyaaaa?" gerutuku kesal lantaran tak kunjung menemukan barang yang kucari.

Tanganku bergerak acak, mengobrak-abrik isi laci, hingga bukannya menemukan obat, yang tanganku raih malah sebuah amplop cokelat lusuh.

"Ige mwoya?"gumamku pelan sambil melepas kaitan kancing dan talinya di amplop itu.

Saat di buka, yang pertama kali tertangkap oleh netraku adalah presensi foto seorang anak perempuan berpose di depan sebuah rumah tua bersama dengan seorang gadis berseragam biarawati, dan juga seorang anak lelaki.

Tapi gadis itu... bukannya aku?

Aku mengerutkan kening tajam, lantas mengurungkan niat mencari obat dan malah mengantongi foto tadi ke dalam kantong bajuku.

Tanganku cekatan sekali saat merapikan kembali laci tadi dan barang-barang di dalamnya. Lalu dengan cepat aku keluar kamar eomma, kendati kepalaku masih pusing juga.

Kuambil benda persegi panjang canggih yang tergeletak di atas nakasku, lantas dengan cepat kutekan dial telepon. Menghubungi Cheonsa sepertinya pilihan tepat kali ini.

Pelantaran cafe itu tentu seperti biasa, sepi. Pun dalamnya juga sama, suasana yang menjadi ciri khas dari cafe bernuansa retro itu.

Si pemilik--Park Cheonsa--menyambutku dengan sepiring cake dan teh begitu aku membuka pintu, menimbulkan bunyi dentingan lonceng.

"Padahal sepertinya kau masih sakit. Tapi sempat-sempatnya memusingkan masalah ini," ujar Cheonsa saat aku sudah duduk di kursi, menghadap ia yang kini duduk menopang dagu.

"Hah... kalau tidak begitu, bisa saja aku malah berujung mati konyol," kelakarku.

Cheonsa tersenyum tipis, lantas mulai kembali membuka mulutnya, "Apa yang mau kau bicarakan?"

Maka kurogoh saku baju guna mengeluarkan secarik foto usang yang tadi aku curi diam-diam dari kamar eomma. Lalu tanganku membawanya ke hadapan si gadis setengah malaikat.

"Hng? Petunjuk rupanya, pantas antusias sekali." Cheonsa membolak-balik foto itu, rautnya menelisik tiap-tiap orang di sana.

"Itu aku 'kan? Dan siapa dua orang itu?" tanyaku ragu.

Tiba-tiba saja ia terkekeh, lantas mengembalikan foto itu padaku, "Kau tidak sadar juga? Terlalu bodoh atau bagaimana? Aku curiga, jangan-jangan selama ini sudah banyak petunjuk datang menghampirimu tapi tak juga kau sadari?"

Aku melongo, maksudnya apa? Okay, aku akui meski pintar, tapi aku sedikit lemot. Dan jadi, selama ini aku sudah mengabaikan banyak petunjuk?

"Jelas-jelas bocah lelaki ini Hyunjin, bodoh," sahut Cheonsa lagi.

Foto itu kembali ku ambil, kemudian ku amati dengan jeli. Benar juga, bibir tebal itu, tidak salah lagi kalau itu milik Hyunjin. Belum lagi tahi lalat kecil di bawah mata si bocah yang samar-samar terlihat.

Maka jelas sudah, aku dan Hyunjin memang punya hubungan di masa lalu. Dan eomma seharusnya tahu itu.

"Apa boleh kalau aku bertanya pada eomma ku?" ragu-ragu aku memulai pertanyaan.

Cheonsa mengangguk, "Coba saja. Sepertinya juga tidak semudah itu ia mau menjawabnya. Bukankah sudah jelas, ada yang coba mereka sembunyikan darimu."

Aku terhenyak, "Mengapa harus disembunyikan?"

"Lucy, di dunia ini tentu ada beberapa hal yang sengaja disembunyikan demi kebaikan. Mungkin saat kau tahu alasannya, kau akan sakit hati," katanya. Menutup konversasi kami siang itu, sebelum ku putuskan melangkah keluar cafe dengan gontai dan perasaan campur aduk.

Kebohongan putih ya?

Tapi dasarnya, semua dusta itu tidak baik 'kan? Lagipula untuk sekarang, aku rasa tak masalah sakit saat mengetahui fakta yang selama ini orang tuaku coba sembunyikan. Mungkin lebih baik dibanding harus mati konyol bersama Hyunjin.

TIIINN!

Aku tersentak oleh bunyi nyaring klakson mobil yang mendadak berhenti di hadapanku. Sedikit heran, meski akhirnya perasaan itu sirna kala kaca pintu mobil turun setengah, menampakkan presensi Hendery sunbae dengan senyumnya yang seperti biasa--menawan.

"Hei, mau pulang ke rumah?" sapanya ramah.

Aku ikut menampilkan senyum terbaikku sebelum menjawab, "Ne, sunbae."

"Kalau begitu naiklah, biar ku antar."

Sungkan, sebenarnya. Ingin menolak, tapi Hendery sunbae sudah terlanjur membukakan pintu di sebelahnya, mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam mobil dipenuhi aroma citrus itu.

"Gomawoyo sunbae," ucapku sesaat setelah mobil kami melaju di jalanan Seoul.

Hendery sunbae mengangguk kecil, "Jangan sungkan meminta bantuan padaku. Kau itu sudah ku anggap adik sendiri sekarang."

Aku terkekeh, lantas tanpa sengaja menjatuhkan sling bag yang tadinya ku pangku hingga isinya berceceran keluar.

"Wah, itu foto masa kecilmu? Lucu sekali loh," Hendery sunbae tiba-tiba menyeletuk.

Aku mengangguk malu-malu. "Sekarang juga lucu loh sunbae."

Lantas saja ia terkekeh mendengar jawabanku. Setelahnya, ia kembali berucap, "Mereka yang di sampingmu itu... siapa?"

Ah, aku lupa kalau aku tidak sendirian di foto itu.

[]

✓ Awake | H.HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang