Waktu yang terbuang di sekolah memang tidak pernah sia-sia dan mungkin banyak hal baru yang saya dapatkan di sana. Tetapi perlu juga kiranya saya menyebut “pembolos” atau orang yang memilih meninggalkan kelas sebelum waktunya adalah seniman—tanpa merendahkan seni dalam arti sesungguhnya—sebab Barbara Rose mengungkapkan terdapat dimensi protes dalam karya seni. Sedang hubungan murid dan sekolahan ibarat orang tua dan anak. Sekolah membuat aturan-aturan yang mengekang daya “seni dan estetika” mereka, sebab dianggap melanggar tatanan-tatanan baku atau aturan-aturan yang sudah ada. Salah satu bentuk protes atas tatanan tersebut adalah dengan PERGI KE WARKOP SAAT JAM PELAJARAN! Dan itu adalah bentuk kreativitas, di mana sebuah ekspresi atas kehendak inovatif yang menentang semua perihal sistem yang konservatif.
Sekolah tak mengajarkan apa pun. Sungguh. Maksudku, selain patah hati, pertemanan dan teman-teman yang alay datangnya paling awal tapi perginya selalu akhir. Charles Bukowsky pernah mengatakan, “We are here to unlearn the teachings of the church, state, and our educational system.” Dan faktanya, saya (karena tidak ingin membawa Anda dalam masalah saya) memang lebih banyak belajar dari hal-hal sederhana di luar sekolah, bukan di dalam kelas. Tetapi ini tidak berarti saya mengatakan sistem pendidikan di negara ini buruk—tapi sangat buruk dan bobrok.
Tahun pertama di SMA saya langsung punya teman sekaligus membentuk genk yang beranggotakan 4 orang saja. Tak perlu banyak-banyak anggota, sedikit namun komitmen, konsisten, royal, dan loyal. Di tahun yang sama juga, saya jatuh cinta kepada seorang gadis yang sekelas dengan saya (ya Tuhan… apakah perasaan cinta selalu datang di waktu yang anu?). Tahun kedua masih sama dengan tahun pertama, malahan di tahun ini komplotan saya berhasil ‘menghegemoni’ sekolahan hingga tahun ketiga, tahun terakhir jenjang pendidikan SMA/sederajat, atau tahun kelulusan. Dalam rentang waktu tiga tahun itu saya lebih senang menghabiskan waktu di luar kelas, tepatnya di warkop yang saya sudah anggap sebagai basecamp. Komplotan saya biasa berkumpul di situ, sebelum, saat, dan sesudah jam sekolah dalam rangka meramaikan khazanah main catur, remi, atau bahkan tidur, namun sering juga ngobrol gak jelas kesana-kemari membahas selebgram yang sedang booming. Oh ya ngomong-ngomong namanya basecamp itu adalah “Warunge Mak’e." Hanya itu saja yang bisa saya deskripsikan. Mengenai Algoritma, Archimedes, Newtown, adalah nama-nama yang melintas sekilas di telinga tanpa mengetuk pintu keinginan untuk memasukinya lebih dalam.
Sehingga, bolos merupakan tindakan yang sangat “dianjurkan” untuk membunuh kejenuhan dan keterasingan tersebut. Sebab, siapa yang patut disalahkan ketika seorang murid mual melihat angka-angka dan huruf-huruf yang berserakan di papan tulis? Siapa yang bertanggung jawab atas waktu yang terbuang karena kantuk hebat dalam kebosanan? Guru? Jelas tidak! Ia hanya mengikuti silabus yang ada.
Semua siswa harus mengikuti rentetan gila pelajaran yang tidak pernah ia inginkan. Misal, temanku suka otomotif (karena dia terobsesi menjadi pembalap drag bike 201 meter seperti Alvan Cebonk) tetapi dikurung di laboratorium biologi, atau seperti saya yang dipaksa menghapal tabel periodik, padahal saya lebih nyaman membaca buku yang bernalar puitik seperti T.S Eliot. Dan masih banyak lagi. Saya tidak tahu dimana letak cacatnya sistem pendidikan yang memaksakan siswa harus bisa segalanya. Hal ini akan terus makin banyak menuntut, memaksa, dan MIPAsentris! Ini Bukan USSR, Bung!
Bagi saya, cara satu-satunya melawan hal-hal pedagogi pendidikan yang membosankan dan mengekang itu ialah dengan cara membolos. Bolos adalah pemberontakan paling sederhana. Tentu, bolos di sini bukan untuk hal-hal semacam tawuran atau free sex di kamar mandi. Itu kegiatan bodoh yang dilakukan oleh seseorang yang otaknya sudah menolak bersemayam di dalam kepalanya. Bolos adalah simbol perlawanan. Artinya, di waktu itulah saya bisa melakukan hal yang saya sukai, seperti bermalasan di warkop selama berjam-jam. Eits! Jangan pandang remeh orang yang malas, tokoh sekaliber Bill Gates mengatakan, “Saya lebih suka memperkerjakan orang yang malas. Karena orang yang malas akan melakukan pekerjaannya dengan cara yang kreatif." Lalu perkataan itu dipertegaskan oleh ungkapannya Albert Camus: “pemberontakan adalah kreatif.”
Dari bahasanya dua tokoh dunia yang masih relevan dalam teks ini, saya hanya ingin mengatakan: "lompatilah pagar, keluarlah dari kelas, atau lakukan hal-hal yang dapat meningkatkan skill, Kepala Sekolah dan rapot hanya berbicara berapa bukan apa." Tetapi jika saya punya cukup keberanian mengatakan itu, saya akan mengutip pendapatnya Nietszsche; “siapa kehilangan keberanian, dia telah kehilangan segalanya.” Dan diakui atau tidak, saya akan banyak kehilangan relasi dan skill dari hobi yang saya sukai jika saya tidak melakukannya.Jadi boloslah jika perlu. Selama masih ada yang melakukannya, saya yakin sistem masih ada yang salah. Toh, kata Benjamin, tokoh protagonis dalam film hacker berjudul Who Am I, mengatakan "No System Is Safe." Pasukan Komando Khusus atau yang disingkat KOPASSUS juga mengamini hal tersebut, yaitu tak ada yang aman, walau bahasa mereka terdengar "belum aman." Tapi intinya sama; not safe.
Tujuan pendidikan memang hendak memberikan ketentraman, kesejahteraan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa—yang bila ketiga itu diringkas menjadi satu dapat dikatakan juga tujuan pendidikan adalah memberikan rasa aman antar sesama masyarakat. Lalu kenapa ketika hendak memasuki sebuah PTN harus menyelesaikak seleksi akademik seperti SPANPTKIN, SNMPTN, SBMPTN, dan UMPTKIN? Apabila ada siswa yang nilainya tidak memenuhi standart yang ditentukan akan ditolak oleh PTN tersebut meskipun siswa tersebut anak yang tergolong baik, lugu, dan polos sekali pun.
Apakah benar itu murni tujuan pendidikan? Manakah dalil-dalil agama dan bangsa yang menjelaskan bahwa barometer orang yang berpendidikan adalah nilai berupa angka?
Dapat MVP bukan berarti maenmu dalam game itu bagus. Sebaliknya, dapat Savage pun belum tentu dinilai MVP. So?