87. est-ce une date?

4.3K 402 7
                                    

Renjun berdiri di gerbang sekolah—seperti biasa bersama Haechan yang sedang mengunyah kerupuk pedas, Jaemin pemit lebih dulu karena akan pergi dengan Mark. Kadang, Renjun merasa jenuh melihat hubungan keduanya. Mark terlalu takut memulai sementara Jaemin sama sekali tidak peduli.

Suara skuter berhenti membuat keduanya mengalihkan atensi, Lucas membuka helm dengan gaya yang membuat Renjun ingin muntah. Lelaki itu mengibaskan rambut ala iklan shampoo kemudian menyapa mereka dengan senyum merekah sempurna.

"Halo, Haechanie, Renjunie."

"Kenapa kau bisa tersesat di sekolah kami?" tanya Renjun, Haechan beringsut ke belakang tubuhnya.

"Aku kesini karena temanku bilang dia akan mengajakmu pergi, jadi tidak mungkin Haechan akan jadi orang ketiga, kan?"

Bola mata Renjun berotasi malas, "Jaemin dan Mark-hyung memang sudah pergi. Tapi masih ada aku. Sana sana kembali ke habitatmu."

Lucas mendengkus, "Renjun, yang kumaksud itu kau. Haechan terlalu indah untuk jadi yang ketiga."

Haechan memukul lengannya, "Kau pikir aku ini apa?"

"Hais. Kau suka bermain kasar ya cutie chocoball."

Tawa Renjun tersembur, "Cutie chocoball. Menggelikan."

"YA!" Lucas berseru tidak terima, "Sudahlah, ayo kita pulang. Jeno sebentar lagi datang."

Hidung Renjun mengerut, "Bukannya ia tidak masuk?"

"Tapi, katanya ia akan menjemputmu makanya aku disuruh menjemput Haechan. Kau ini kenapa hobi bertanya sih? Seperti polisi lalu lintas saja. Sudah, diam di sini sampai Jeno datang."

Tangan Haechan kembali terangkat namun langsung ditangkap Lucas, "Naik, ya. Aku belum mau mati di tangan Mingyu-ahjussi."

Dia menatap Renjun dengan pandangan memelas, berharap sahabatnya itu bisa menolong. Haechan masih belum bisa berhadap dengan Lucas—hanya berdua. Tidak. Rasa malu masih sangat membekas.

Kepala Lucas menoleh ke belakang, diikuti dua anak yang masih beradu tatap, Jeno mengangkat alis, "Kukira kalian sudah pulang," katanya.

Lucas mendengus, "Kekasihmu yang terlalu curigaan. Sudah, mari pulang marilah pulaaang."

Haechan memukul kepalanya main-main, "Injunie, tolong akuuuu," pintanya dengan memelas.

Sahabatnya tersenyum kecil, "Tak apa, hati-hati ya, hubungi aku kalau terjadi sesuatu."

"Sesuatu seperti apa?" bibir Lucas menyeringai jahil.

"YAK! LUCAS WONG! AYO PULANG!"

"Haduh haduhh iyaa iyaa, kita pulang. Jeno, aku pergi dulu. See you Renjun."

Haechan melambai heboh, Lucas menambah kecepatan membuat jidatnya terbentur punggung tegap pemuda di depannya.

"SAKIT TAHU!"

"MAKANYA PEGANGAN!"

Orang-orang hanya melihat mereka dengan tatapan mencela, namun Lucas tak peduli, setidaknya dia sudah bisa membuat Haechan duduk manis diboncengan motornya.

Matanya berkilat bahagia.

Step 2: Ambil hati temannya, agar bisa melancarkan jurus pendekatan.

Check.

Bodo amat dengan tatapan membunuh dari Renjun, toh teman Haechan bukan hanya lelaki mungil itu.

***

Jaemin menarik tangan Mark ke toko boneka saat mereka tiba di salah satu pusat perbelanjaan yang cukup besar. Yang lebih tua hanya bisa menurut, terlebih melihat senyum Jaemin yang terkembang saat mengacungkan satu boneka berwarna oranye padanya.

"Tahu tidak, hyung, aku, Jeno dan Renjun pernah berdebat karena boneka ini."

Alis Mark terangkat, "Oh ya?"

"Hu-um," bibirnya tersenyum kecil, "Itu pertemuan pertama kami. Jeno tidak suka main boneka sementara aku suka boneka Ryan dan Renjun suka Moomin."

"Hahaha, pasti lucu sekali melihat tampang Jeno, kan?"

"Iya!" dia mengangguk ceria, "Lucu sekali melihat wajahnya yang merengut."

"Sayang sekali hyung tidak ada di sana."

"Tidak apa-apa, yang penting sekarang hyung di sini. Jadi, hyung suka apa? Nanti Jaemin belikan."

"Hyung suka Jaemin. Mau Jaemin saja," jawabnya dengan nada menggoda yang membuat Jaemin bersemu.

"Apa sih hyung. Tidak lucu. Ayo pilih, anggap saja kita tukar hadiah," katanya, sembari melihat benda-benda lain yang dipajang di etalase toko.

Mark mengekor di belakangnya dengan tarikan napas panjang, terdengar sedikit lelah.

"Hyung tidak mau apa-apa."

"Yakin?"

Kepalanya terangguk.

"Ouhh, ya sudah, Jaemin bayar ini dulu, hyung."

Mark mengambil alih, "Biar hyung saja."

Dia menatap Mark dengan binar harap, "Hyung mau membelikan?"

Bahunya mengedik, "Kalau Jaemin mau, boleh-boleh saja."

"Yeay!" dia memekik girang, "Terima kasih," katanya dengan boneka yang didekap erat.

Tangan Mark terulur, membawanya dalam pelukan singkat yang membuat tubuh Jaemin terpaku.

"Jadi, kita mau bermain apa?" tanya Mark saat mereka sudah keluar dari toko tersebut, tangannya menenteng kantong plastik besar berisi boneka sementara si empunya sibuk mengunyah kentang goreng, sesekali menyuapi Mark.

"Apa yaa?"

"Bola basket?"

Kepala Jaemin terangguk lucu, "Oke."

Mark menuntun langkahnya ke area bermain, Jaemin seperti anak kecil yang baru dilepas keluar rumah, matanya benar-benar hidup, sangat menggemaskan menurut Mark.

"Hyung jago bermain basket tidak?"

Bahu Mark terangkat, "Tidak terlalu, yang jago itu Jeno."

"Bagaimana kalau kita taruhan? Kalau hyung bisa mendapat nilai yang lebih tinggi dariku, aku akan menuruti semua permintaan hyung hari ini, mau?"

Yang lebih tua berpikir sejenak, Jaemin menunggu sembari melempar bola basket tanpa fokus yang jelas, Mark meliriknya, skill Jaemin tidak terlalu menonjol. Setidaknya ia punya kesempatan.

"Baiklah."

"Waktunya lima menit ya, hyung." Dia mengeluarkan ponsel dan menyetel stopwatch.

"Satu dua tiga. Start!"

Mark menjilat bibir, sepenuhnya fokus pada bola dan ring basket yang bergerak ke kiri dan kanan, di sisinya Jaemin tertawa kecil, bolanya masih belum ada yang gagal.

"Semangat, hyung!"

***

la vie de familleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang