Mereka berdua keluar dari toilet dan melewati dua orang santriwati yang berlawanan arah.
"Oh ini ya, Desiva yang katanya udah jadi Hafidzah" ucap salah satu santriwati tersebut.
"Cantik sih, tapi sayang ya, dia jadi Hafidzah itu gara2 hukuman bukan bener2 niat dari hati" timpal satu lagi dengan menunjukan tatapan sinis.
Desiva hanya menanggapi mereka dengan senyuman, meski hatinya merasa teriris dengan kata-kata yang dilontarkan oleh santriwati tersebut.
Ilma menggandeng lengan Desiva dan mengajaknya untuk segera pergi dari sana. Ia tau apa yang dirasakan oleh sahabatnya sekarang, yang harus ia lakukan adalah menguatkan kembali sahabatnya agar ia tidak merasa rapuh dengan kehidupannya saat ini.
"Kamu tau gak cara paling ampuh buat ngalahin semuanya? Ngalahin omongan orang yang sinis sama kita, ngalahin tingkah laku mereka yang anggap kita paling buruk dari segalanya, dan ngalahin tatapan gak suka yang sering mereka lempar ke kita?" tanya Ilma.
Desiva menggeleng pelan, "Gak tau Ma. Emang apa?"
"Berdamai dengan segala kekurangan yang kita punya mau itu masa lalu, ketakutan, kelemahan, apa pun itu yang ada pada diri kita yang selalu kita anggap menjijikan." ujar Ilma seraya tersenyum tulus.
Desiva membalas senyuman yang Ilma berikan. Ilma memang sahabat paling baik yang Desiva punya, ia selalu bisa saja membuat Desiva yang rapuh menjadi kuat kembali. Desiva tidak tau harus menjawab apa, ia terlalu kagum dengan sahabat yang satunya ini. Ia menundukan kepala lalu menitikkan air mata, bukan, bukan air mata kelemahan, tapi ini adalah air mata haru. Ya, Desiva terharu dengan kata-kata yang Ilma lontarkan.
"Hey, kenapa nangis? Ayo dong, mana Desiva yang selama ini aku kenal. Desiva yang selalu tegar dan kuat dalam segala cobaan."
"I'm sure you must be strong, you are a great woman. Masih ada Allah yang selalu di samping kamu, Dia gak pernah tidur." sambung Ilma menghapus air mata Desiva.
Desiva menghambur kepada pelukan Ilma, tangis nya semakin tak tertahankan.
"Makasih banyak Ma. Makasih buat kamu yang selalu menjadi penguat dari kerapuhan aku, makasih buat kamu yang udah mau jadi sahabat aku, makasih banyak Ma, meski aku udah bilang seribu kata terimakasih tapi itu gaakan ngeganti apapun yang udah kamu kasih ke aku." ucap Desiva berderai air mata.
"Itulah gunanya Sahabat Va. Udah ya, mending sekarang hapus air mata kamu. Aku gamau liat kamu nangis lagi gara-gara hal gini, nanti cantiknya ilang loh." Ilma terkekeh diujung kalimat.
Desiva mengangguk, "Andai kamu mondok disini Ma, pasti aku bakalan kuat kalo ada kamu terus disamping aku."
"Jangan gitu dong. Masih ada Allah di samping kamu yang selalu ngejaga kamu Va. Kalo kamu kangen sama aku, kamu panggil aja nama aku 3x, nanti Insha Allah aku gaakan muncul." ucap Ilma sambil nyengir.
"Becanda mulu ih," Desiva memanyunkan bibirnya kesal.
"Hehe, oh kamu mau nya diseriusin ya Va? Sama siapa Va? Emang udah ada santriwan disini yang nyangkut di hati kamu?" tanya Ilma.
"Ihh, kok jadi nyambung kesitu sih. Ilma nyebelin banget." Desiva semakin memberengut.
"Becanda kali Va. Kali-kali becanda dong, masa melankolis mulu dari tadi".
"Terserah deh Ma," Desiva berjalan cepat meninggalkan Ilma yang tertawa mengejeknya.
"Eh, tungguin aku dong Va." ucap Ilma saat sudah menghentikan tawanya. Setidaknya Ilma dapat bersyukur karena Desiva bisa kembali lagi seperti semula. Eh tunggu, emang tadi Desiva berubah ya? Wkwk.