Raja Trev menghela napas berat ketika Ken mengakhiri ceritanya. Cerita mengenai kehidupan Liz dan Ben. Rasa sesal merasup hingga ke dalam hati. Seandainya hatinya tidak lemah karena kehilangan Arneth, barangkali waktu itu pikirannya bisa terbuka untuk mencari fakta sebenarnya.
“Ben beberapa kali menemuiku, terakhir kali menemuiku karena ia ingin meminang Liz. Namun, setelah itu tak ada kabar darinya lagi.”
“Kami berdua beberapa kali ke Pulau Suci untuk memberitahukan tentang keberadaan Liz dan anak Anda, tetapi orang-orang Ratu Mazmar terus menerus menghalangi kami. Kami bahkan pernah di penjara, sampai kemudian Liz datang dan membebaskan kami. Sejak itu, kami berjanji tak akan datang lagi ke Pulau Suci.”
“Yang Mulia, selama ini, Liz lah yang merawat Sang Putri. Dia terlalu banyak menderita sampai akhir hidupnya.”
Kepalan tangan Sang Raja semakin dalam. Mengapa ia mempercayai cerita Mazmar? Padahal dia sendiri melihat kebencian Mazmar pada Arneth. Mengapa ia tak menyadari semua ini dari awal? Penyesalan ini sangat besar, hingga banyak menelan korban karena kelemahannya.
“Aku akan mengambil semua utang-utang Mazmar pada Ben dan Liz. Ken, bergabunglah denganku! Kami akan menuju Samhian. Samhian sedang diburu dari berbagai sisi, bukan saja karena putriku berada di sana. Namun, karena musuh kita pun sedang mengadakan pesta pora.”
“Yang Mulia, kami akan bergabung dengan Anda. Tanpa Anda minta, kami akan menuju Samhian.”
Raja Trev mengangguk dengan senyum bangga. Tangannya menepuk bahu Ken dengan penuh terimakasih. Menarik napas pelan, ia kembali bertanya, “Dapatkah kau katakan? Siapa Nama Putriku?”
Ken tersenyum mengangguk, “Dia bernama Kanna, Kanna yang berarti bunga kehidupan.”
***
Langit gelap seakan tetap pada pendiriannya. Tak ada sama sekali cahaya matahari. Seakan memang Samhian tercipta untuk kegelapan.
Istana saat ini dikepung dari berbagai sisi. Bahkan negara Ragda dan Rushka kini datang dan bergabung dengan Valia. Pasukan mereka berada di tepi barat. Teluk-teluk Samhian pun kini disinggahi kapal perang dari Zenev, negara kecil yang selama ini diam akhirnya menunjukan taring dengan bergabung bersama Valia.
Beberapa komandan perang Samhian berkumpul di ruangan dengan peta Samhian yang telah ditandai bendera merah, putih, biru dan kuning. Setiap bendera diberi nama negara masing-masing. Merah untuk Samhian, putih untuk Ragda, biru untuk Valia, dan kuning untuk Zenev.
“Benteng distrik timur telah dikuasai Ragda, komandan Thasamet telah tewas.” Heragold memberi laporan.
“Itu artinya benteng yang masih bertahan hanya utara. Benteng Barat telah membelot, dan sekarang pasukan angkatan laut Zenev berusaha menyerbu wilayah utara.” Zeon menunjuk bendera kuning bertuliskan Zenev.
Zarkan Tar menatap satu persatu bendera dalam peta tersebut. ia kemudian memandang bendera berwarna kuning. Wajahnya datar seakan tanpa emosi menggebu-gebu. Namun, siapapun yang mengenal Zarkan Tar akan tahu bahwa keadaannya saat ini sedang tak bisa di ganggu.
“Biarkan mereka masuk ke wilayah utara.” Zarkan Tar memajukan bendera kuning ke peta bergambar benteng utara.
“Yang Mulia, mengapa?”
“Memancing ikan besar, tentu harus dengan umpan besar.”
Zeon dan Zarkan Tar saling berpandangan. Zeon menganggukan kepala, ia tiba-tiba mengerti dengan rencana Sang Mahadiraja. Mereka berdua lalu menatap kapten angkatan laut Samhian, Vashka.
“Izinkan tamu masuk dan berikan jamuan makan malam. Zenev kuat dalam bertarung di laut, tapi mereka lemah bertarung di darat.” Zarkan Tar memindahkan bendera merah ke sebelah bendera kuning.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DESTINY (TAKDIR)
FantasyZarkan Tar, Sang Mahadiraja dari Samhian. Mempunyai kekuatan setingkat dewa tertinggi. Keabadian dan segala keberuntungan selalu berpihak kepadanya. Raja yang sangat dihormati oleh para rakyat dan negara lain. Hingga suatu hari, ramalan besar datan...