Sarusa menghempas semua benda yang berada di meja. Ruangan dalam tendanya sudah porak poranda. Tak ada sedikit pun benda yang terlihat masih utuh. Dalam kemarahan besar ia berteriak mengutuk nama Zarkan Tar.
Di atas bukit tak jauh dari perkemahan pasukan Valia, Sautesh berdiri dengan raut wajah dingin. Sorot matanya menatap istana Samhian. Apa yang ada di benaknya tak ada yang tahu. Beberapa kali burung gagak berteriak-teriak seakan membicarakan sesuatu kepadanya. Tak lama setelah itu Sautesh menyunggingkan senyum sinis.
“Para makhluk bodoh,” ucapnya kemudian berbalik pergi.
Di ujung timur, benteng besar yang tengah ditempati pasukan Ragda telah menerima berita akan keruntuhan pasukan Zenev. Sang komandan besar pasukan Ragda, Asghat, menatap peta yang terhampar di meja. Beberapa penanda pasukan yang telah menguasai sebagian Samhian telah ditandai dengan batu berwarna.
“Apakah tak ada satu pun yang masih hidup dari pasukan Zenev?”
“Tidak ada Tuan, bahkan gunungan mayat sangat terlihat jelas dari arah pengintai benteng. Api besar membakar mayat-mayat tersebut. Asap dan bau pembakaran pun sampai ke area kita.”
“Bagaimana dengan para pasukan Samhian yang melarikan diri? Sudahkan semuanya telah ditangkap kembali?”
Prajurit yang melapor di depannya terlihat kebingungan. “Kami tak mendapatkan laporan apapun, Tuan.”
“Apa maksudmu tak ada laporan?”
“Para pasukan yang mengejar sisa prajurit Samhian tak ada laporan telah kembali.”
“Aku telah mengerahkan 200 lebih pasukan mengejar sisa pasukan yang hanya berjumlah 40 orang, kau bilang mereka tak pernah kembali?”
Sang Prajurit menunduk. Ia sendiri tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Karena 200 pasukan yang bertugas mengejar sisa pasukan Samhian memang tak pernah kembali.
“Baiklah, sekarang kau bisa keluar. Ingat untuk terus berjaga-jaga.”
“Hamba mengerti, Tuan!” prajurit tersebut mengangguk dengan salam hormat. Ia berbalik hendak keluar saat seorang prajurit memasuki tenda dengan membawa kotak hitam besar.
“Tuan Asghat, di luar benteng ada yang menaruh kotak ini. Tertulis nama Anda di atasnya.”
“Siapa yang meletakkannya?”
“Kami tak tahu, Tuan! Kotak ini tiba-tiba sudah berada di tengah pintu gerbang.”
“Baiklah, kemarikan! Kita lihat siapa yang mencoba bermain dengan kita.”
Asghat memperhatikan kotak hitam besar itu. Sang prajurit kemudian membuka gembok dengan sekali tebasan pedang. Setelah itu kedua tangannya kemudian mendorong kotak hitam ke hadapan Komandan Asghat.
“Bukalah!”
Prajurit yang membawa kotak tersebut mengangguk lalu dengan tanpa pikiran matang ia langsung membukanya.
Wajah komandan besar negara Ragda langsung pias memucat. Tak berbeda dengan Sang Komandan, dua prajurit yang di hadapan kotak tersebut juga tak kalah pucat.
Berbagai potongan tangan lengkap dengan jarinya saling bertumpuk. Pun dengan darah merah yang masih mengucur dari bagian terpotong menjadi pemandangan yang akan membuat siapapun mual.
Asghat menendang kotak tersebut. Ratusan potongan tangan tumpah ruah berceceran di tengah ruangan. Prajurit yang melapor pertama kali tak tahan lagi, dengan tubuh gemetar ia jatuh terduduk lalu memuntahkan isi perutnya. Menyusul kemudian prajurit yang membawa kotak langsung membuka tangan yang menutupi mulutnya. Tak tahan lagi seketika menumpahkan muntahan di hadapan Asghat.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DESTINY (TAKDIR)
FantasyZarkan Tar, Sang Mahadiraja dari Samhian. Mempunyai kekuatan setingkat dewa tertinggi. Keabadian dan segala keberuntungan selalu berpihak kepadanya. Raja yang sangat dihormati oleh para rakyat dan negara lain. Hingga suatu hari, ramalan besar datan...