Part 27. Takdir Kematian (1)

537 72 2
                                    


Langit gelap tertutup mendung tebal. Tak ada burung yang berani beterbangan. Seakan mereka tahu bahwa suasana di negeri Samhian kian mencekam. Bunga-bunga yang biasanya bersemi indah, mulai layu dan berwarna kelabu. Jalan-jalan yang setiap pagi ramai karena banyaknya perdagangan kini sepi dan terhembus angin dingin. Kain-kain bergerak melambai menyambut kesuraman hati negeri Samhian.

Para penduduk desa yang beruntung mereka aman dan selamat memasuki istana. Akan tetapi, rakyat yang jauh dari istana Samhian, mereka telah mejadi korban keganasan para Gort.

Desa-desa kini sunyi, hanya derak riak api membakar beberapa rumah. Potongan tubuh berserakan, tak ada yang utuh sama sekali. Setiap pintu rumah terlihat cakaran dan noda darah seolah lukisan yang menghiasi setiap dindingnya.

Seekor Pegasus putih mendarat disertai dengusan dari hidungnya. Di atas punggung, Sang Mahadiraja mengamati keadaan dengan kegeraman tak tertahan. Tangan pria itu membelai surai hewan tunggangannya sebelum melompat turun.

Kedua mata Zarkan Tar mengamati area setempat. Saat merasakan tak ada aura kehidupan satu manusia pun. Pria itu kemudian mengeluarkan angin besar. Angin yang menggulung, memintal segala benda, potongan tubuh atau apapun. Lalu ketika telah menjadi satu kesatuan, tiba-tiba api besar menyala, membakar, menghanguskan, membuatnya menjadi debu yang lalu terbawa angin dingin. Debu yang akan menjadi suatu tanda peperangan besar telah terjadi.

Setelah melakukan apa yang seharusnya dilalukan, pria itu kembali menaiki Pegasus. Langkahnya mantap dengan sorot mata yang semakin tiran. Ia memberikan tanda suara lalu sang Pegasus terbang dengan kecepatan tinggi ke arah padang Tandura.

***

"Jangan bergerak," Ilija bergumam. Merine mengangguk dengan hati-hati. Seluruh otaknya dicekam ketakutan. Hingga menutup semua ide apa yang seharusnya ia lakukan.

"Ada berapa?" Merine bertanya dengan berbisik.

"Aku merasa ada tiga aura, tapi mereka sangat ganas."

"Apa yang harus kita lakukan."

"Menunggu."

"Apa maksudmu menunggu?"

"Benar. Selama kita tak bergerak, mereka tak mengetahui posisi kita. Kita terlindungi dari rimbunnya ilalang ini."

"Tapi bagaimana dengan Red? Pasukan Samhian menuju kemari."

Raungan Gort terdengar kembali, Merine dan Ilija terpaksa berhenti. Tak ada yang berani bergerak maupun bersuara.

Getaran tanah kembali mereka rasakan, lalu sapuan angin yang memilah tingginya ilalang semakin membuat suasana mencekam. Mereka yakin, Gort mengendus keberadaan keduanya. Tetapi, posisi tepatnya tidak diketahui.

Ilija mendekati telinga kiri Merine, dengan bibir gemetar ketakutan ia kemudian berbicara.

"Aku akan mengecoh mereka. Kau harus lari menyelamatkan warga desa. Bila perlu masuk kembali ke terowongan. Hanya itu satu-satunya tempat yang aman saat ini."

"Ilija, jangan nekat!" Merine mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu.

"Tenanglah! Aku sudah berpengalaman dengan para Gort, dibandingkan dengan dirimu lariku lebih cepat."

"Kau!"

"Ingat, kau harus segera berlari ke arah penduduk desa, bersembunyilah di terowongan!"

Merine akan kembali membalas, tetapi Ilija telah bergerak. Pemuda remaja itu berteriak menentang tiga Gort yang tanpa harus memberi dorongan langsung mengejar Ilija.

THE DESTINY (TAKDIR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang