Lelaki Trotoar
Karya : Muhamad Fathan Mubin
“Ayah. Aku ingin mainan baru. Belikan!” Rengek putra tunggalku yang ketika itu berusia 9 tahun lebih 3 bulan. Bisa juga kurang atau lebih. Seingatku demikian.
“Bunda hari minggu ada arisan. Pasti malu kalau belum beli pakaian dan perhiasan baru. Ayah juga malu ‘kan?” Istriku yang tidak lagi menjadi sosok seperti dulu, ketika cinta kami akhirnya terikat menjadi janji sehidup semati. Pernah aku sesali mengapa predikat “mampu” akhirnya menghampiri stabilitas ekonomi keluarga kami.
Istri dan putraku kini telah berubah. Dahulu bagi keluarga kami, mie rebus dua bungkus bisa disantap bertiga dengan lahap. Namun akhir-akhir ini, putraku berkata bahwa panganan semacam itu hanya untuk mereka yang menjadi korban gempa dan bencana alam lainnya. Memang dulu kami miskin. Mungkin putraku menyimpulkan bahwa kemiskinan adalah sebuah bencana. Sebetulnya aku jengkel dibuatnya, tetapi sudahlah. Dia masih belum paham mengenai hidup. Kukatakan pada putraku, bahwa mie bukan hanya untuk korban bencana alam. Presiden saja sesekali makan mie. Putraku mengangguk mafhum. Anak adalah cerminan orang tua. Lalu siapa yang mengajarkanya untuk berkata demikian? Putraku menjawab bunda. Padahal, 5 bulan yang lalu ia masih memanggil wanita itu dengan sebutan emak.
“Ayah ‘kan sudah punya jabatan tinggi di kantor. Masa iya kita masih tinggal di kontrakan tidak layak begini? Berasa tinggal di kandang domba.” Istriku angkat suara.
Dia kini punya akun facebook dan twitter. Menggenggam telepon pintar ke mana kaki melangkah. Tubuhnya kini mengilap sebab pantulan sinar matahari dari emas aran yang ada di pergelangan tangan, leher, bahkan kakinya. Kawannya tidak lagi ibu-ibu pengajian. Kini ia bergabung dengan ibu-ibu arisan yang dandanannya lebih mirip etalase toko perhiasan. Yang dibicarakan juga bukan lagi mengenai langkah agar menjadi istri yang baik demi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Namun mengenai pria tampan di televisi, harga perhiasan, dan terkadang menyebar fitnah tidak baik. Paadahal enam bulan yang lalu, istriku belum pernah barang sedetik pun membicarakan aib tetangganya. Kini ia berubah drastis, bagai es batu yang tersiram air panas.
Pukul 14.00 WIB. Di bawah awan kelabu pekat cumulonimbus, bersama keluarga kecilku, kukiitari kota dengan mobil yang baru lima bulan kumiliki. Mobil van yang kukendarai melaju tidak terlalu gesit. Ibarat diriku pejalan kaki, maka berjalan dengan tidak menerjang batasan trotoar adalah apa yang akan selalu kulakukan. Saat sedang memikirkan semuanya, pikiranku menjadi hilang fokus. Mengemudikan kendaraan adalah kegiatan yang sangat tidak dianjurkan dalam keadaan seperti itu. Hingga seorang pedagang asongan yang sedang menyeberang jalan luput dari pandanganku. Kubanting stir ke arah kanan. Untung tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Baru sejenak hatiku merasa lega, tiba-tiba kelegaan itu berubah kembali menjadi ketegangan saat rem yang kupijak terlambat berfungsi. Nampak di pengkolan depan berdiri tegak dengan jumawa tiang listrik beton lengkap dengan warung kopi dan pangkalan ojeg. Sebelumnya, ada trotoar yang menghalangi, bisa juga mengawali kejadian tragis yang mungkin bahkan pasti kualami. Untuk pertama kalinya, aku menerjang trotoar dalam artian yang sebenarnya.
***
Ruangan ini berukuran 8 x 9 meter. Bisa juga kurang bahkan lebih. Aku hanya memperkirakan. Juga sebetulnya tidak penting dipedulikan. Membuka mata adalah kegiatan yang sulit bagiku ketika itu. Untung saja indera penciuman dan pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Aku mencium aroma khas obat-obatan dan obrolan beberapa orang tentang kematian. Aku simpulkan dalam hati bahwa ruangan ini mungkin berada di dalam rumah sakit. Pikiranku langsung tertuju kepada keluargaku. Di mana mereka? Apa yang sebetulnya telah terjadi?