Santri Buntut Kuda

200 5 0
                                    

Santri Buntut Kuda

Karya : Muhamad Fathan Mubin

 

 

            “Kau mesti menuntut ilmu di pemondokan ini! Tanpa pinta ingin melanjutkan di sekolah umum yang belum pasti dibekali ilmu agama secara penuh. Paham?” teriak halus ayah padaku.

            Sudahlah. Tiap makhluk di bumi memiliki jalannya masing-masing. Aku lelah dengan segala cercaan ibu dan ayah yang selalu meluruskan tabi’at dengan siasat yang selama ini hanya membakar adrenalin untuk kian memberontak. Dengan kekerasan? Sepertinya begitu.

            Selama ini aku hanya membuntuti kawan-kawanku dalam segala hal. Juga mengenai sekolah bahkan gaya hidup. Mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama, aku ditekan oleh hasrat jiwa untuk selalu mengikuti jejak-jejak rancu mereka, yang kupanggil dengan sahabat.  Kata ayah mereka telah membabat hampir habis masa depanku.

            “Baiklah, meski terpaksa, Danu tetap akan menurutinya. Demi Ayah dan Ibu.” Kucoba meyakinkan dengan sungguh-sungguh meski belum kutemui hasil yang diharapkan.

            “Dengan terpaksa? Apa maksudmu?” Ayah kembali menunjukkan sikap tegas yang selama ini membuatku liar  dalam pergaulan.

            Apa lah arti sebuah kekerasan? Tidakkah pernah ayah menjadi seorang anak laki-laki? Bukan karena hasrat jiwa mereka membantah. Tapi sikap ayah yang menekan parah, kami menjadi rupa dari nafsu membabi buta sepasang orang tua demi anaknya. Bukankah keterpaksaan Siti Nurbaya membawanya meregang nyawa? Demi terbaik, apa harus ayah menekan dengan sebegitu buruknya? Tapi, sudahlah. Untuk saat ini, aku mencoba untuk mengalah. Ayah seorang pejuang yang tegas. Bantahan hanya akan membuatnya geram untuk tidak kembali dibantah.

            Aku berusaha menemukan titik nyaman untuk mengatakan kata-kata indah bagi Ayah.

“Aku tulus untuk melanjutkan studiku di Pondok Pesantren Darussalam ini.” Sesaat sebelum kutinggalkan ayah dan ibu di depan ruang sirkulasi Pondok Pesantren Darussalam, salah satu ponpes kenamaan di provinsi para jawara, Banten.

***

“Bangun! Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Tunaikan sholat tahajjud dan bersiap mengkaji kitab di pendopo. Bangun!”

Suara apa itu? Sadarlah, kini pukul tiga dini hari. Apakah ada bencana yang mengharuskan kita semua untuk mengungsikan diri?

“Cepat bangun, Danu! Kalau tidak, kamu dipaksa mandi sebelum waktunya, diguyur air oleh Ustadz Muslim!”

Dimas. Malam ini malam pertamaku di pondok dan dia lah kawan pertama yang kukenal. Bertubuh sintal serta berkulit putih, tidak menunjukkan bahwa di sini ia cukup menderita. Setidaknya itu yang kuterka sebelum pukul tiga dini hari tiba.

“Iya. Aku bangun sekarang.”

Suasana gaduh. Ruang yang berukuran cukup luas tidak lagi menampakkan keleluasaannya. Bayangkan, dalam ruangan ini ditempati tidak kurang dua puluh delapan santri dengan tiga puluh ranjang bertingkat. Saat kutanya kepada Dimas ke mana dua penghuni yang menanggalkan kosong ranjangnya, Dimas bercerita singkat bahwa kedua orang tersebut sudah menemukan impiannya di Al-Azhar Kairo sana. Cukup menakjubkan. Kulihat dari sorot mata Dimas, sepertinya ia juga mendambakan apa yang kedua orang tersebut dapatkan. Beasiswa penuh di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.

Mungkin ini pertama  kalinya aku bangun pukul tiga dini hari selain untuk bergadang menonton pertandingan sepak bola. Bahkan ini untuk beribadah. Luar biasa!

Santri Buntut KudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang