ORDER RIAS DARI ALAM GAIB
#pengantin_istimewa_1Kuas dan berbagai jenis alat make up menjadi alat tempurku di setiap akhir pekan. Panggilan merias dari para calon pengantin yang ingin terlihat cantik di hari istimewanya, menjadi hal yang sangat kami, para perias nantikan. Tak masalah bila kami harus berangkat gelap, pulang gelap. Yang penting dapur tetap ngebul dan kebutuhan anak-anak terpenuhi.
Termasuk aku salah satunya. Berbagai karakter bentuk wajah dan kepribadian pengantin sudah aku temui. Dari yang cantik sampai yang biasa saja, dari yang ramah sampai yang bawel, pesan mereka selalu sama, "Tolong bikin aku terlihat manglingi ya, Mbak." Di situ aku merasa tertantang, berusaha semaksimal mungkin dalam bekerja dan menjaga sikap agar mereka merasa nyaman denganku dan berbahagia. Ya ... Hanya agar mereka bahagia, karena menurutku, mau sebagus apapun riasan atau semahal apapun produk kecantikan yang dipakai, bila sang pengantin hatinya merasa tertekan dan sedih, auranya tidak akan terpancar.
Kadang kalau direnungkan, lucu. Aku yang dulu semasa sekolah terkenal tomboy dan lulusan Akuntansi, sekarang justru bergelut dengan make up. Tapi siapa yang bisa menolak takdir? Aku yakin, Allah memberiku rejeki lewat jalan ini bukan tanpa tujuan. Mungkin Dia berkehendak, dengan bekerja di luar rumah hanya dua kali dalam seminggu, aku jadi lebih banyak waktu untuk menemani dan mendampingi si genduk yang sedang dalam masa tumbuh kembang. Jika tidak aku ibunya, siapa lagi? Syukuri, jalani, nikmati, itulah prinsipku dalam bekerja.
Selain bulan Ramadhan, bulan Muharram menjadi bulan istirahat bagi para perias. Khusus untuk bulan Muharrom, panggilan merias jarang datang karena mitos yang berkembang di masyarakat, itu adalah bulan wingit. "Ojo rabi sasi Suro, ndrawasi, ngko bakal keno musibah mergo kui sasine Nyi Roro Kidul mantu ( jangan menikah di bulan Muharrom, bahaya, karena itu adalah bulannya Nyi Roro Kidul Menikahkan anaknya )." Sungguh sebuah alibi yang menyesatkan. Lha terus Nyi Roro Kidul ki anak e piro, kok setiap tahun mantu.
Mitos itu sudah berkembang di daerahku sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu, dan tertanam kuat di benak masyarakat. Ditambah prinsip niteni. Sehingga bila ada warga yang nekat melakukan hajatan pernikahan di bulan itu, dan tiba-tiba terjadi musibah yang menimpa pihak pengantin atau keluarga, maka mereka akan berkata, "Lho, rak tenan, to? Sudah berani melanggar adat sih makanya kena musibah."
Padahal yang kutahu, dari penuturan simbah, pada jaman dulu para Wali menyarankan untuk tidak menggelar hajatan, karena di bulan Muharram lah, cucu Rasulullah dibantai oleh orang-orang kafir di padang Karbala. Sehingga sebagai wujud ungkapan duka cita, umat islam dianjurkan untuk tidak mengadakan pesta pora, dan mengisi waktu dengan lebih memperbanyak ibadah. Kalau orang jawa menyebutnya tirakat. Itulah sebabnya, bulan ini aku lebih banyak berada di rumah. Memanfaatkan waktu untuk menemani si kecil bermain dan sekali tempo mengajaknya keluar cari hiburan. Ya ... Itung-itung sebagai penebus kesalahan karena jarang bisa menemaninya jalan-jalan.
*****
Saat itu, bulan Muharrom empat tahun yang lalu. Setelah seharian mengajak genduk berkunjung ke rumah kakak, aku mengajaknya pulang. Sengaja kududukkan si kecil di depan. Kutautkan tubuhnya dengan menggunakan kain jarik sebagai pengikat, agar ketika dia tertidur di jalan tetap berada pada posisi aman. Aku khawatir, bila di belakang, genduk akan mengantuk dan terjatuh. Maklumlah, saat itu motor menjadi satu-satunya alat transportasi yang aku miliki. Kemana-mana kami selalu berdua, karena suamiku yang merantau ke Jakarta hanya pulang setiap enam bulan sekali. Pekerjaannya sebagai seorang satpam di sebuah kantor instansi pemerintahan, hanya memberinya ijin pulang pada saat cuti di tengah dan akhir tahun.
Kami sampai di rumah tepat ketika adzan Maghrib berkumandang. Segera kumandikan si kecil yang sudah mulai mengantuk. Ritual mandi usai sudah. Kini giliran sebotol susu yang menemani istirahatnya, sementara aku bergegas sholat Maghrib karena waktunya hampir habis.
"Nduk, Ibu sholat Maghrib dulu, Nggih. Mboten pareng rewel, Lho," ucapku sambil membaringkannya di tempat tidur.
Dia hanya mengangguk karena sedang ngedot.
Begitu aku selesai sholat, kutengok anakku sudah terlelap, mungkin saking capeknya karena tadi siang terlalu banyak bermain bersama sepupunya sehingga tidak sempat tidur siang. Waktu sholat Isya tinggal sebentar lagi, sengaja aku tidak beranjak dari atas sajadah dan memutuskan untuk melanjutkan dzikir.
Setelah sholat Isya tertunaikan, aku pun menyusul si Genduk ke peraduan. Walau cuma mengobrol dan membantu kakak memasak untuk acara arisan keluarga, lelah juga ternyata badanku. Tak menunggu lama aku pun segera tertidur.
Sepertinya baru saja aku terlelap. Terpaksa aku terbangun karena ada suara perempuan yang mengucap salam sambil mengetuk-ngetuk pintu. Gelagapan, aku segera menuju ke ruang tamu, menyalakan lampu dan memutar anak kunci yang masih menggantung.
Begitu pintu terbuka, aku sangat terkejut karena sekarang yang berdiri dihadapanku adalah seseorang yang dulu semasa sekolah sangat dekat denganku.
"Assalamualaikum, Yu," sapanya sambil tersenyum manis.
"Wa'alaikum salam."
"Ratna ...." pekikku kegirangan. Segera kupeluk dirinya. Bahagia sekali rasanya bisa bertemu lagi dengan sahabat semasa sekolah."Ayo, masuk, Rat. Wes ngene iki gubukku, berantakan." Kugandeng tangannya menuju sofa yang berada di pojok ruangan.
"Wes santai wae. Apa kabar, Yu, lama banget kita gak pernah ketemu, yo," ujarnya.
"Alhamdulillah, Rat. Yo wes ngene iki. Lha kamu sendiri sekarang tinggal di mana? Suomboong mentang-mentang sekarang wes sukses ya, lali karo konco lawas," cecarku menggodanya.
Dia tertawa renyah. Terlihat deretan gigi yang miji timun. Wajahnya tetap cantik seperti dulu, dengan rambut panjang terurai, legam sebatas pinggang. Mengingatkanku pada pesona gadis-gadis model shampo yang sering kulihat di televisi. Sorot matanya teduh menenangkan. Kulitnya pun putih, bersih, dan terasa dingin ketika tadi kami bersentuhan. Mungkin karena angin malam yang tadi menerpa sepanjang perjalanan menuju ke rumahku.
"Aku kerja masih di dalam kota kok, Yu, sering nglihat kamu lewat di depan rumah, tapi mau tak ampirno wong kamu gak pernah noleh. Bablas wae koyo angin," sahutnya."Yo maaf, Rat. Bola bali wes emak-emak ki yo ngene iki, uber-uberan sama waktu."
Setelah berbasa basi ngalor ngidul, akhirnya Ratna mengungkapkan tujuannya datang menemuiku, "Aku dengar kamu sekarang merias pengantin yo, boleh dong aku minta tolong."
"Alhamdulillah, akhire kamu nyusul aku juga, Rat. Boleh banget. Kapan? tenang, nanti buat kamu gratis wes, anggap wae itu kado pernikahan dari aku," jawabku antusias.
"Beneran, Yu? ojo ngapusi. Kamu kan dulu suka ngapusi, makan bakwan di warungnya mbok kantin empat ngakunya dua." selorohnya.
Tawa kami pecah mengenang kekonyolan masa itu.
"Teniiin, aku janji, emang kapan acarane, Rat?"
"Empat hari lagi, Yu. Hari kamis legi. Ini sekaligus aku ngundang kamu lho ya, nggak perlu pakai ulem (undangan), to?" jawabnya.
"Okelah kalau begitu. Ora usah pakai-pakai ulem, koyo sama siapa kamu itu, Rat."
Setelah menyampaikan mahksudnya, Ratna pun pamit pulang, "Yo wes kalau gitu aku pamit dulu ya, Yu. Sudah larut, maaf lho wes ngganggu istirahatmu."
"Iyo, matursuwun juga kamu wes kerso (mau) mampir ke sini. Mudah-mudahan acaramu nanti lancar, yo. Jangan lupa jaga kesehatan."
Setelah bersalaman, cipika cipiki kuantar Ratna sampai ke teras. Nampak sebuah sedan warna silver sudah menunggunya. Sebelum masuk ke mobil, Ratna sempat berkata, "Yu, besok gak usah bawa motor, ntar kamu biar dijemput saudaraku ae, yo."
"Sip ...." Kuacungkan kedua jempol sebagai tanda persetujuan.
Setelah sedan yang membawa Ratna berlalu, aku pun segera masuk rumah dan mengunci pintu. Kulirik jam yang menggantung di samping kalender, 'Hah ... Wes jam dua, perasaan tadi ngobrol sama Ratna cuma sebentar.'
Wes embuhlah, mataku sudah benar-benar berat, begitu mencium aroma bantal langsung wuss ... Aku terlelap.
Bersambung