Gelap suram malam seakan menandakan suasana duka di Samhian. Tak ada suara ceria akan kemenangan terhadap pasukan Rushka dan Valia. Semua menundukan kepala atas kemalangan yang menimpa raja mereka.
Di dalam kamar raja, sang ratu duduk terpekur. Kedua mata ungunya memandang sosok yang terbaring di ranjang. Begitu tenang, seakan sang raja sedang tertidur. Berkali-kali jemarinya mengusap lembut dada sang raja. Berharap detak itu masih ada. Atau setidaknya, ia merasakan suhu hangat tubuh suaminya. Namun, ia kembali dihentakkan pada kenyataan. Bahwa sang mahadiraja tak mungkin kembali bangun.
"Yang Mulia Ratu!" panggilan Zeon tak Kanna hiraukan, wanita itu masih tetap memandangi suaminya. Wajah sang ratu pucat, kedua kelopak matanya bergetar seakan menahan tangisan. Meski begitu, tak ada tangisan lagi yang keluar.
"Yang Mulia ...."
"Apakah mereka menyerang kembali?" Kanna berucap datar. Tak ada emosi di dalamnya.
"Prajurit pengintai kami melihat pasukan Valia masih tetap dalam kamp mereka. Namun, hal yang kutakuti terjadi."
Kanna beringsut, ia melirik Zeon. "Apa itu?"
"Sebelum menyerang pasukan Valia dan Rushka, Yang Mulia Zarkan Tar membuat segel pelindung agar Gort tak menyerang ke istana. Beberapa waktu lalu, segel telah mulai rapuh dan yang kutakutkan beberapa pukulan dari Gort akan membuka segel tersebut."
Kanna mengangguk mengerti. Memandang Zeon ia berucap, "Selama segel itu masih ada mereka tak bisa menyentuh istana. Lalu, apa kau sudah menyelidiki tentang ramalan kematian suamiku?" pertanyaan Kanna dijawab dengan desah lembut pria itu.
Zeon kemudian mengeluarkan sebuah buku berwarna coklat. Ia kemudian melemparkan buku ke udara. Sang buku berputar-putar dengan cepat, lalu membentuk sosok menyerupai wanita cantik, Gayara.
"Salam hormat hamba pada Yang Mulia Ratu!" Gayara membungkukan setengah badan sebagai salam hormat. Kanna mengangguk sebagai tanda menerima hormat.
"Kau informan Tuan Zeon?" pertanyaan dari Kanna membuat Gayara tersenyum lembut. Wajahnya bak pualam dengan bibir semerah delima. Anggun dan terlihat berpengetahuan luas.
Gadis buku itu mengangguk, lalu berucap, "Hamba bersedia membantu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia."
Kanna mengangguk dengan senyum datar sebagai tanda hormat. Ia kemudian mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan yang ingin diketahuinya. Termasuk dengan ramalan kematian Zarkan Tar.
"Ramalan kematian sang mahadiraja bermula dari seorang penyihir tak dikenal ketika Yang Mulia Zarkan Tar dan Tuan Zeon memasuki goa di dataran rendah para Kerr. Penyelidikan dimulai dari para Kerr, makhluk neraka seperti Kerr mereka tak mungkin menyerang manusia terkecuali ada yang mengendalikan dari alam bawah," jelas Gayara sambil menunjukan gambar makhluk Kerr.
"Itu berarti sesuatu telah mengendalikan mereka?" tanya Zeon memastikan.
"Benar," tegas Garaya, ia kemudian mengeluarkan sebuah kartu berlambangkan Mok, mahkota Atheras.
Kanna menatap kartu tersebut dengan tajam. Tak ada yang tahu apa isi pikirannya. Tangan sang ratu gemetar dengan bibir mengatup erat. Sorot pupilnya mengecil tanda bahwa kemarahan memasuki jiwa raganya begitu tepat.
"Atheras," ucapnya dengan gigi geligi bergemulutuk.
***
Calasha memasuki ruangan Sorkha tiba-tiba. Ia tak peduli bagaimana keadaan Sorkha yang sedang dilayani para dayang-dayangnya. Dengan mata menyalang ia menunjuk Sorkha. Kekejaman dalam mata itu membuat Sorkha segera memerintahkan seluruh dayang agar cepat meninggalkan ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DESTINY (TAKDIR)
FantasyZarkan Tar, Sang Mahadiraja dari Samhian. Mempunyai kekuatan setingkat dewa tertinggi. Keabadian dan segala keberuntungan selalu berpihak kepadanya. Raja yang sangat dihormati oleh para rakyat dan negara lain. Hingga suatu hari, ramalan besar datan...