Setelah kuis mendadak yang diadakan Pak Ari tadi, ternyata membuatku lapar di saat aku sudah makan banyak. Aku duduk di bangku semen yang berada di dekat parkiran. Pohon besar di belakangnya membuat matahari tidak langsung menyambar kulitku yang duduk disitu. Aku bersyukur.
Aku tidak boleh makan lagi. Mau seperti babi ternak memangnya? Jelas saja aku tidak mau.
"Bye!" Teriak Ades dengan sepeda motornya yang melaju cepat di depanku.
Menunggu mama menjemputku terasa seperti menunggu kucingku melahirkan anak kucing lagi. Tapi, aku tidak punya kucing. Harusnya aku sudah boleh membawa kendaraan sendiri, tapi sayangnya Mama tidak mengizinkan. Setidaknya, aku bisa mengendarai sepedaku karena jarak dari sekolah ke rumah hanya 15 menit.
"Uh... " Rasanya ada yang melilitkan perutku dari luar dan dalam.
Aku tidak tahu apa ini sakit karena nyeri atau memang aku lapar lagi. Aku menunduk. Memaksa perutku agar tertahan dengan tas sekolah yang ada di pangkuanku. Tatapanku menghadap ke sepatu converse hitam yang sudah lama tidak aku cuci. Tenang saja, ini masih bersih. Dan, yang penting tidak bau.
"Hai, Thalia!"
Untuk yang kedua kalinya di hari ini, aku terkejut.Dia. Cowok Brosur tadi pagi. Dan, oh yaampun dia wangi sekali.
Aku mengernyit. Dia menaruh bokongnya tepat di sebelahku. Kepalanya bergoyang mendengar alunan musik yang mengalir di dalam headset yang dia kenakan, mungkin. Dia siapanya kepala sekolah sih? Setahu ku anak muda itu nongkrongnya di cafe, atau di taman kota, bukan di parkiran sekolah.
Akhirnya aku kembali menunduk. Dan sekali lagi, oh ya ampun, wanginya selalu tertangkap pada indra penciumanku.
"Kamu selalu gitu ya?" Tanyanya.
"Kenapa?" Bodoh, aku malah balik tanya.
"Kamu nunduk melulu." Jawabnya. Tawa renyahnya membuat darahku berdesir.
Kaos hitam dan celana jeans dengan warna muda menarik perhatianku, karena ada lubang di bagian lututnya. Sangat berbeda dengan yang kutemui tadi pagi. Siang ini dia seperti mahasiswa, sedangkan tadi pagi lebih terlihat seperti papa muda. Bukan seperti papaku saat masih muda, maksudnya seperti hot daddy.
Sial, maksudku bukan berarti dia hot. Ya.. pokoknya seperti itu lah.
Dia tertawa lagi.
"Mau?" Dia mengerahkan headset sebelah kirinya padaku. Aku sontak menggeleng. Mendengarkan lagu tidak membuat rasa mulasku hilang, duh. Lagipula, aku tidak melihat headsetnya di colok di handphonenya. Apa yang dia dengarkan sih? Dasar gila.
Gerak-geriknya janggal. Tapi kurasa, dia lupa dengan kejadian tadi pagi. Senyumnya merekah saat dahiku berkerut samar.
"Dari pada bengong liatin sepatu, mending dengerin lagu." Ujarnya. Aku tetap menggeleng.
Aku berpaling, tidak menatapnya lagi. Merasakan sakit perut yang amat luar biasa ini, aku harap detik ini mama datang menjemputku. Sial, sial, sial. Aku ingin buang air besar.
"Na--
Sebelum ia melanjutkan ucapannya, aku mendengar deru mesin mobil yang sangat aku kenal. Yes! Mama datang! Tanpa ragu lagi aku berlari ke arah mobil yang sebenarnya belum benar-benar berhenti.
Aku sama sekali tidak bicara apa-apa lagi dengan cowok itu. Aku meninggalkannya dengan wajah bingung yang dia buat: konyol. Lalu, saat aku berlari, dia mengikutiku dengan langkah panjangnya.
Dia berteriak, "Aidan!" Tangannya melambai ke arahku.
Apa katanya? Namaku Thalia bukan Aidan, aku kira dia sudah tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Care Too Much
Teen FictionIngat-ingat ya. Jadi manusia itu jangan terlalu peduli kepada sesama. Tahu alasannya apa? Peduli itu = MENYUSAHKAN.