Jilid 10/24

1.5K 15 0
                                    

"Yo-twako, sebenarnya, apa sih yang kita cari di dunia ini? Mengapa dalam kehidupan ini selalu kita dipermainkan senang dan susah, puas dan kecewa? Bahkan apa yang menyenangkan pun menjadi membosankan. Kenyataan hidup terlalu sering berlawanan dengan apa yang kita idamkan dan harapkan. Sekelumit kesenangan segera diseling segunung kesusahan. Bukankah kita manusia ini seperti selalu mencari-cari? Apa yang kita cari? Kebahagiaan? Di mana dan apakah kebahagiaan itu? Pertanyaan ini selalu menggangguku dan sudah kutanyakan kepada banyak sekali orang-orang pandai, tetapi tak pernah aku memperoleh jawaban yang meyakinkan dan memuaskan."

Yo Han tersenyum lebar. "Pertanyaanmu itu agaknya sudah menjadi pertanyaan dunia sepanjang masa, pertanyaan seluruh manusia di permukaan bumi ini, Cia-te. Kita selalu mencari-cari kebahagiaan, mengejar-ngejar kebahagiaan, akan tetapi tak pernah dapat menemukannya. Kalau ada kalanya merasa menemukan, ternyata dalam waktu singkat yang kita tadinya anggap sebagai kebahagiaan itu berubah menjadi kesengsaraan. Kita mengejar dan mencari terus selama kita hidup."

"Akan tetapi, adakah orang yang betul-betul telah menemukan kebahagiaan itu, Twako? Dan dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?"

"Cia-te. Marilah kita selidiki bersama. Mungkinkah kita mencari sesuatu yang tidak kita kenal?"

"Tentu saja mustahil!" jawab sang pangeran tanpa ragu.

"Tepat. Karena itu, sebelum kita bertanya di mana adanya kebahagiaan yang kita cari, lebih dulu aku hendak bertanya, apakah kebahagiaan itu, Cia-te?"

"Kebahagiaan! Tentu saja kebahagiaan ialah suatu perasaan, yaitu perasaan bahagia!"

"Kalau begitu pertanyaan yang menyusul, apakah engkau pernah mengalami perasaan bahagia itu, Cia-te?"

Pangeran Cia Sun tertegun dan mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk. "Rasanya pernah dan sering malah. Kalau aku merasa bebas dari kepusingan apa pun, merasa bebas dan lega, seperti ketika aku berada seorang diri di tepi laut yang sunyi, seperti kalau aku berada di puncak gunung yang sunyi pada suatu senja memandang matahari tenggelam, seolah-olah aku melayang di antara sinar senja, ketika aku saling tatap dan bercakap-cakap dengan Eng-moi, yah, sering kali aku merasakan itu dan mungkin aku selalu mencari-cari saat atau detik-detik seperti itu..."

"Nah, itulah, Cia-te! Sekali saat kita merasa berbahagia seperti yang kau alami itu. Akan tetapi nafsu menguasai hati akal pikiran. Karena nafsu selalu mengejar keenakan serta kesenangan, maka nafsu di hati akal pikiran membuat kita lantas ingin mengabadikan perasaan bahagia di saat itu! Kita ingin memilikinya! Dan kita terseret oleh nafsu, yaitu menjadikan saat indah dan suci itu menjadi semacam kesenangan. Jadi, yang kita cari selama ini, yang dicari-cari oleh setiap manusia di dunia ini, hanyalah kesenangan yang mengenakan topeng kebahagiaan. Yang bisa dikejar hanya kesenangan, Cia-te. Mudah saja mengejar kesenangan yang sebenarnya makanan nafsu itu, melalui mata, hidung, telinga, mulut, kulit serta anggota badan luar dan dalam lainnya. Kesenangan timbul dari kenangan, dari pengalaman, yang diulang-ulang, karenanya mati dan selalu disusul oleh kebosanan. Kebahagiaan sudah ada dan selalu ada. Hidup bagaikan awan berarak di angkasa, bagaikan gelombang di samudera, tak dapat ditangkap dan dimiliki, tak dapat diulang-ulang, dirasakan saat demi saat tanpa bayangan kenangan masa lalu."

Pangeran Cia Sun tertawa dan memegangi kepala dengan kedua tangannya. "Aduh, kepalaku yang pening, Twako. Jika begitu, menurut Twako apakah amat tidak baik bila dalam hidup ini kita bersenang-senang?"

Yo Han tertawa pula. "Wah, bukan begitu, Cia-te! Menikmati keenakan dan kesenangan dalam hidup merupakan anugerah yang sudah sepatutnya kita nikmati. Manusia berhak menikmati kenikmatan dan kesenangan melalui panca-indra. Akan tetapi, diperhamba nafsu lain lagi akibatnya. Kita lalu menjadi hamba, setiap saat hanya mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan dengan melupakan segala macam cara. Di sini perlunya kita mempergunakan alat kita yang lainnya, yaitu akal budi untuk mempertimbangkan, kesenangan macam apa yang baik dan tidak baik, yang sehat dan tidak sehat. Engkau tentu mengerti apa yang kumaksudkan."

Pangeran itu mengangguk-angguk. "Sekarang, bagaimana baiknya, Twako? Sebetulnya aku ingin sekali memperisteri Eng-moi, akan tetapi jelas bahwa ayahnya pasti tidak akan menyetujuinya. Ia anti pemerintah, anti Mancu, sedangkan aku justru seorang pangeran Mancu."

"Memang keadaan kalian itu sulit sekali, Cia-te. Akan tetapi, aku tetap yakin bahwa lahir, jodoh dan mati ditentukan dan sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan. Maka, bersabarlah dan sebaiknya sekarang engkau kembali dulu karena dipanggil keluargamu. Sebaiknya kalau kau ceritakan persoalanmu ini kepada orang tuamu. Mungkin mereka akan dapat menemukan jalan sehingga akhirnya engkau akan dapat berjodoh dengan kekasihmu itu."

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih. "Agaknya mustahil jika ayah mengijinkan aku menikah dengan Eng-moi, kalau ia mengetahui bahwa Eng-moi adalah puteri ketua Pao-beng-pai yang menentang pemerintah."

"Kalau begitu, lebih sulit lagi. Tapi percayalah, Cia-te, betapa pun sulit dan mustahilnya suatu urusan bagi kita manusia, kalau Tuhan menghendaki, segala kesulitan itu akan terlampaui dan perkara ini dapat diatasi dengan segala ikhtiarmu, dengan penyerahan diri kepada kekuasaanNya."

"Dan sekarang, engkau sendiri hendak ke mana, Twako? Aku akan kembali ke kota raja. Maukah engkau ikut denganku ke sana? Akan kuperkenalkan kepada ayah ibuku."

Diam-diam Yo Han merasa ngeri. Ikut ke sana dan bertemu dengan Sian Li? Ahh, tidak! Dia tidak ingin membuat adik angkatnya ini menjadi terganggu apa bila tahu bahwa dia mempunyai hubungan dekat sekali dengan gadis tunangannya itu. Juga dia tidak mau membuat Sian Li menjadi rikuh. Di samping itu, dia pun tidak ingin menyiksa diri sendiri bila menyaksikan pertunangan antara adik angkatnya dengan gadis yang dicintanya.

"Terima kasih, Cia-te. Akan tetapi, aku harus melanjutkan pelaksanaan tugasku, yaitu mencari puteri bibi guruku yang hilang sejak kecil itu."

"Pekerjaan yang teramat sukar, Twako. Bagaimana mungkin mencari seseorang yang belum pernah kau kenal sama sekali? Apa lagi dia hilang ketika berusia tiga tahun dan jarak waktunya sudah dua puluh tahun. Ia sendiri mungkin tidak ingat lagi akan keadaan dirinya ketika berusia tiga tahun."

"Kalau saja aku dibimbing dalam kekuasaan Tuhan, tidak ada perkara yang sulit, Cia-te. Engkau tentu ingat kata-kataku tadi. Aku tidak akan putus asa dan akan terus mencari. Setidaknya, aku mengetahui tanda pada tubuhnya ketika ia lahir, yaitu di pundak kirinya dan di kaki kanannya."

Pangeran itu tertawa geli. "Ha-ha-ha-ha, sekarang mengertilah aku mengapa gadis yang mengirim surat Eng-moi kepadaku melalui jarum yang disambitkan padamu itu memaki-makimu! Kiranya engkau pernah menyangka gadis itu sebagai gadis yang kau cari dan engkau tentu membuka bajunya untuk melihat pundaknya, juga membuka sepatunya untuk melihat kakinya. Pantas ia marah-marah!" Pangeran itu tertawa geli dan Yo Han juga ikut tertawa dengan muka kemerahan.

"Apa lagi ketika engkau menjawabnya dengan sikap kasar, aku sempat terheran-heran melihat sikapmu, Twako. Ehhh, kiranya engkau bersandiwara dan tahu bahwa gadis itu tentu mempunyai maksud tertentu. Nyatanya ia menyambitmu dengan jarum yang ada surat Eng-moi sehingga kita dapat siap melaksanakan sandiwara ketika Eng-moi datang membebaskan kita."

"Memang dialah gadis yang disuruh Siangkoan Kok untuk menjebakku. Baru kemudian kuketahui bahwa dia adalah murid terbaik dari ketua Pao-beng-pai itu. Nah, sekarang sebaiknya kita saling berpisah di sini, Cia-te. Percayalah, jika engkau memang berjodoh dengan nona Siangkoan Eng, kelak engkau pasti dapat menjadi suaminya. Dan kalau tugasku selesai, kelak pada suatu hari aku pasti akan mengunjungimu di kota raja."

Dua orang pemuda itu bangkit dan setelah saling memberi hormat dan saling rangkul, mereka lalu mengambil jalan masing-masing. Pangeran Cia Sun kembali ke kota raja sedangkan Yo Han mengambil jalan yang belum dia ketahui menuju ke mana karena dia pun tidak tahu ke mana harus mencari Sim Hui Eng.

Ia akan melanjutkan ikhtiarnya itu dengan menghubungi orang-orang di dunia kang-ouw, terutama para golongan sesat untuk menyelidiki siapa pelaku penculikan atas diri puteri bibi gurunya itu.....

SI TANGAN SAKTI (seri ke 15 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang