Trigger warning : Homophobic-mentioned, Major Character Death.
.
.Dandelion itu rapuh; Jimin bilang begitu. Menurutnya mereka akan terbang kemanapun etika terkena sentuhan. Mengudara sejauh itu, sebagai pelarian atas kerapuhan.
Jeongguk bilang; dandelion itu tangguh. Mereka berguguran hanya untuk pergi jauh. Mereka sanggup terbang sekian jauh, untuk menyemai kehidupan baru, tak jarang harus menjalani lika-liku kehidupan yang kotor.
.
.
Jeongguk suka dandelion, entah kapan ia menyukai bunga berwarna putih yang bergerombol riuh. Mungkin sejak kecil, atau mungkin baru saja karena Jeongguk baru suka ribut dengan Jimin mengenai dandelion.
"Kau terlalu banyak membaca puisi," Jimin mencibir ketika Jeongguk membahas dandelion itu lagi. Hasil jepretannya beberapa hari lalu, ketika pulang ke kampung halaman dan menemukan rumpun dandelion di pinggir lapangan.
"Kau terlalu banyak menonton bokep sampai tidak tahu semesta punya banyak arti,"
Jimin mendengus, "sembarangan. Pindah jurusan filsafat, Gguk."
"Tidak mau. Nanti tidak bertemu Jimin sering-sering,"
"Aku juga tidak mau," Jimin mengulurkan tangan, hendak menggenggam tapi masih ada pasang mata khalayak umum. "Nanti sering rindu, karena mungkin yang kau gauli hanya buku."
Jeongguk suka menafsirkan; Jimin suka meledek. Entah sejak kapan perbedaan yang berujung keributan itu menjadi suatu hal yang menarik. Hingga Jimin memutuskan untuk mengenyahkan segala keterbatasan dan bilang cinta kepada Jeongguk.
Jeongguk suka dandelion; hampr semua yang disalurkan Jeongguk bercerita tentang dandelion. Atau mungkin kisahnya bersama Jimin. Jeongguk anak seni, hobinya fotografi yang membuka jalan untuk bertemu Jimin. Kala itu, Jimin hanyalah mahasiswa boardcasting. Kakak tingkat yang mengulang kuliah, hingga dipertemukan dengan Jeongguk.
.
.
"Dandelion lagi?"
Jeongguk mengangguk. Wajahnya tampak puas dengan lukisan yang bau catnya masih menyengat.
"Kau tidak tahu ceritanya sih,"
Hanya ada mereka berdua. Dalam ruang Jeongguk, maka semua menjadi jelas. Sebagaimana pasangan menjadi berkasih satu dengan yang lainnya. Jimin mengulurkan kecup ke pipi Jeongguk, memperhatikan detail lukisan yang dibuat kekasihnya. Jimin tidak malu untuk sekedar bermanja, atau menyenggol lebih jauh.
"Makanya, Gguk." Lengan berpindah menggelung pinggang Jeongguk. "Ceritakan,"
Jeongguk tertawa kecil, netranya menyiratkan kenangan yang tengah diolah dalam memori. Sebelum bersemu.
"Dahulu, waktu masih belum banyak mengerti. Aku diberikan bunga ini oleh Minggyu," menggantung. Menunggu ekspresi Jimin yang masih berubah. Minggyu teman kecil Jeongguk, yang kadang menyulut kecemburuan.
"Bunga ini hanya ada di semak-semak dekat tanah lapang. Warnanya mirip permen kapas, bentuknya halus. Waktu kuterima, masih lugu sekali reflek kujilat."
Wajah Jeongguk mmerah, kelebat kisah memalukan masa kecil terucap begitu saja. Jimin tertawa, keras hingga netranya menghilang menjadi lengkungan.
"Hush, Jimin."
Mencoba menahan tawa, "aku tahu sekarang kau cinta mati dengan dandelion."
Tawa Jimin pecah lagi. Membayangkan sebagaimana ekspresi kekasihnya menelan bunga dandelion kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Nirwana [JiKook//KookMin]
Short StoryPada peraduan senja; aku banyak bercerita tentang kita. Ficlet. Drabbles. Ficsong. Kumpulan aksara pada masanya.