Kegiatan OSPEK hari pertama di Universitas Pelita Jaya telah usai. Aku adalah salah satu dari ribuan peserta yang mengikuti kegiatan tersebut. Sebut saja aku "Cami". Sebuah istilah yang disematkan para senior pada kami, Calon mahasiswi katanya. Namaku Asia Puteri Radinka. Seorang mahasiswi Jurusan Pertanian di universitas ini.
Sudah hampir sejam aku menunggu angkutan umum di halte depan kampus, namun tak ada satu pun yang melewati jalanan ini. Aku bisa saja menelpon abangku untuk menjemput, namun naas sekali, ponselku kehabisan daya karena lupa di charge semalam. Karena melamun aku tak sadar bahwa ada seseorang lelaki yang duduk disampingku.
"Kamu yakin mau nunggu bus atau angkot disini?" Tanyanya mengagetkanku.
Aku menatapnya dengan ekspresi heran. Dia tampak seperti anak kuliah lainnya. Mengenakan kemeja biru tanpa motif dengan celana jeans berwarna hitam, lengkap dengan sebuah ransel hitam dibahunya.
"Hari ini semua sopir lagi demo kenaikan tarif. Tuh, lagi rame di jalan depan sana. Pengumumannya udah dari semalem. Kamu nggak nonton TV, yah?" lanjutnya.
Aku hanya menggeleng. Malas menghiraukan orang yang belum aku kenal.
"Kelihatan sih?"
"Kelihatan apanya?" balasku.
"Kelihatan kalau kamu pasti nggak suka nonton berita, pasti nonton sinetron."
"Enak aja. Lagian kalau kamu tahu bakalan ada demo dari semalam, ngapain kamu disini?"
"Mau menjerat mahasiswa baru yang nggak nonton TV semalam."
Tanpa menjawab, kuputar kedua bola mataku. Rasa lapar membuatku enggan membuang energi meladeninya.
"Yuk, pulang!" Katanya sambil menggenggam tanganku yang reflek kutarik.
"Nggak usah pegang-pegang. Kita nggak seakrab itu!" Kataku sambil berdiri mengikuti langkah kakinya.
"Bentar lagi juga akrab 'kok." Perkataanya kali ini disertai senyumnya yang manis kalau dilihat. Apa lagi dia punya sepasang lesung pipi. Dia juga punya alis tebal, kulit yang putih dengan hidung mancung, seperti pinokio sedang berbohong. Dia tampan. Nyaris sempurna kalau saja tidak ada noda merah dijidatnya.
Noda merah? Dia berdarah?
"Pan, lari, Pan! Yang demo lagi pada ricuh!" Seorang lelaki berteriak kearah kami seraya berlari.
Belum sempat aku bertanya, lelaki itu menarik tanganku. Ternyata ada kericuhan. Aku panik. Kelaparan yang sedari tadi melanda, lenyap seketika. Yang aku pikirkan hanyalah berlari sekuat yang aku bisa.
Kami berhenti disebuah depan pertokoan yang tutup. Para pendemo sudah tak nampak. Darah dari kening lelaki itu terus menetes. Sepertinya terkena batu. Kuambil sapu tangan dari saku dan menyodorkannya pada lelaki itu.
"Nggak usah, nanti sapu tangan kamu kotor."
"Udah, nggak apa-apa. Aku punya banyak dirumah. Itu buat kamu aja."
Dia menerima sapu tangan itu dan langsung digunakan dengan mengelap keningnya asal-asalan.
"Sini, aku bantuin," kataku seraya membantunya mengelap darah dari keningnya.
"Asia, kamu ngapain disini. Ayo pulang." Tiba-tiba saja Bang Arsya, abangku, sudah ada didepan kami dengan motornya.
"Tadi ada demo, Bang. Makanya Asia lari kesini."
"Ya udah. Yuk, pulang!" Pandanganku beralih pada lelaki disampingku.
"Aku pulang dulu. Makasih yah." Kataku sambil menyunggingkan senyum tulus sembari berdiri dan langsung berjalan menuju motor milik Bang Arsya.
"Asia!" Lelaki tadi memanggilku.
"Iya," jawabku sambil berpaling.
"Sekarang kita berdua udah termasuk akrab 'kan?" Aku tak menjawab. Teringat kejadian tadi bahwa dia menggenggam tanganku ketika kericuhan. Dan sekarang aku senyam-senyum sendiri.
"Sampai jumpa," lanjutnya. Aku tersenyum mendengarnya. Entah apa yang dipikirkannya hingga dia mengatakan sampai jumpa. Berarti dia berharap kita bertemu lagi? Akankah kita bertemu lagi? Aku rasa begitu, batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASIA.
Non-FictionBanyak yang bilang move on itu bukan tentang melupakan, tetapi mampu bersikap biasa saja jika mendengar namanya atau mengingat kenangannya. Setidaknya, itu yang dipikirkan Asia tentang perasaannya sendiri. Move on dari seseorang yang dicintainya sel...