"Tadi itu siapa?" Tanya Bang Arsya ketika perjalanan pulang.
"Apa? Aku nggak denger!" Jawabku. Aku memang tidak begitu baik mendengar Bang Arsya karena tertutupi oleh suara deru motor miliknya.
"Tadi, cowok yang sama kamu itu siapa?" Tanya Bang Arsya setengah berteriak.
"Oh. Dia? Aku enggak tahu namanya. Tadi juga baru ketemu. Dia loh yang nolongin aku waktu ada demo tadi," Bang Arsya hanya mengangguk pelan.
"Sia, harusnya kamu nurut waktu itu untuk kuliah dikampus abang. Jadinya kan kamu bakalan aman. Baru hari pertama OSPEK aja udah terjebak demo, gimana nanti?"
"Ogah, ah. Kalo aku kuliah dikampus abang, yang ada aku bakalan jadi sasaran tempat curhat gebetannya abang yang bejubel. Males banget aku harus pasang tampang prihatin."
Bang Arsya hanya terkekeh pelan. Abangku ini memang punya banyak cewek. Bahkan Tita, sahabatku dari SMA pun sering menggodanya. Dia memang punya wajah yang tampan. Punya rahang yang tegas, mata kecoklatannya yang indah, hidung mancung, dan dilengkapi dengan kulit sawo matangnya. Tidak heran jika banyak gadis yang ingin menjadi pacarnya. Bang Arsya berkuliah dikampus yang berbeda denganku, jurusan teknik mesin.
Ketika sampai dirumah, aku turun didepan gerbang dan membuka pintu pagar karena Pak Ujang lama membuka pintu. Aku melangkahkan kaki menuju teras. Disana terlihat ayahku menatap kami secara bergantian. Sementara Bang Arsya yang hendak memarkir motor dalam garasi terlihat memutar kembali arah motornya menuju pintu gerbang.
"Lihat kelakuan abang kamu. Pulang atau pergi seenaknya. Nggak tahu sopan santun. Mau jadi apa anak itu? Ini pasti ajaran ibu kamu, makanya dia begitu sama ayah."
Aku hanya tersenyum paksa sambil menyalami tangan ayah. Ini bukan pertama kalinya aku melihat pemandangan seperti ini. Bang Arsya memang jarang mau berbicara dengan ayah. Dia lebih suka keluyuran kalau ayah ada dirumah. Namun jangan salahkan Bang Arsya dengan sikapnya, karena semua ada alasannya.
Ayahku bekerja sebagai seorang kepala cabang disebuah perusahaan otomotif. Kami hidup berkecukupan dengan pekerjaannya tersebut. Banyak orang berpikir, hidupku sempurna. Punya ayah dengan pekerjaan mapan, ibu yang cantik dan lembut dan seorang kakak lelaki yang tampan dan protektif. Ya, itu mungkin terjadi jika saja ayahku adalah seseorang yang selalu bersyukur punya istri yang baik hati dan anak-anak ditengah mereka.
Namun nyatanya tidak. Ayah lebih suka mencari kesenangannya diluar rumah. Aku bahkan pernah melihat ayah sedang bermesraan dengan seorang gadis yang mungkin usianya lebih muda dariku. Namun, ibu tidak pernah marah. Aku pernah bertanya padanya. Ibu bilang menjadi istri ayah adalah panggilan hidup yang harus dijalani. Beliau bisa saja pergi, namun dia juga memikirkan aku dan Bang Arsya. Dia bilang, kami berdua adalah kekuatannya.
Waktu itu, pernah Bang Arsya ingin memukul ayah, namun dicegat oleh ibu. Beliau bilang biar bagaimana pun ayah tetaplah ayah kami. Yang harus kami segani dan hormati. Ya, sekuat itu ibuku. Mungkin itulah sebabnya mengapa Bang Arsya selalu menghindari ayah. Karena takut dia tidak bisa mengontrol emosinya.
Setelah berganti pakaian, aku bergegas kemeja makan. Lapar kembali melanda karena sebelumnya sempat hilang karena kericuhan tadi. Terlihat ibu sedang menyiapkan makanan untukku, ditemani Mbok Sum.
"Ibu udah siapin makan. Kamu makan, yah. Abang kamu dimana?"
"Abang udah pergi lagi, Bu. Mungkin malam baru pulang." Ibu hanya mengangguk tanda mengerti.
"Gimana tadi ospeknya, Sia?" Tanya ayah yang telah duduk dihadapanku.
"Wah, seruh, yah. Kita tadi disuruh-"
"Sebentar, Sia." Ayah mengisyaratkan agar aku diam. Ternyata ponselnya berdering.
"Hallo. Iya? Ada apa?" Kata ayah seraya berdiri dan menjauh dari pandanganku. Tingkah ayah sukses membuat nafsu makanku hilang. Aku memandang ibu yang juga sedang melirikku. Beliau hanya tersenyum lirih.
Aku segera masuk kamar dan berbaring. Rasanya muak dengan tingkah ayah. Namun tak bisa berontak karena ada ibu. Kucoba memejamkan mata. Mencoba melupakan segalanya. Pikiranku menerawang kesegala arah. Hingga kembali pada momen kericuhan tadi. Tiba-tiba saja aku mengingat dia dan mulai tersenyum.
Aku menyesal tidak sempat menanyakan namanya tadi. Aku kembali teringat ketika seorang lelaki memanggilnya dengan kata 'pan'. Sebut saja dia tampan.
...........
Terima kasih buat yang baca. Maaf kalo partnya terlalu pendek 😉
Gob bless you 😇
KAMU SEDANG MEMBACA
ASIA.
Non-FictionBanyak yang bilang move on itu bukan tentang melupakan, tetapi mampu bersikap biasa saja jika mendengar namanya atau mengingat kenangannya. Setidaknya, itu yang dipikirkan Asia tentang perasaannya sendiri. Move on dari seseorang yang dicintainya sel...