D u a

140 38 15
                                    

Tak terasa hampir sebulan sudah aku telah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Pelita Jaya. Semester awal ini terasa sedikit sulit bagiku. Bukan hanya mengerjakan tugas yang menumpuk saja, tapi beberapa laporan praktikum bahkan harus ditulis tangan. Belum lagi menyesuaikan diri dengan istilah-istilah pertanian yang sebelumnya awam bagiku. Maklum, aku tamatan SMA Negeri dengan jurusan MIPA.

Alasan pertama aku berkuliah UPJ dan mengambil jurusan pertanian karena ibu. Dari kecil aku suka mengikuti kegiatannya menanam berbagai jenis tanaman dipekarangan rumah. Kedua, karena aku tak tahu mau mengambil jurusan apa. Lebih tepatnya aku tak mau kuliah karena memikirkan ayah. Namun, karena nasihat jitu dari Bang Arsya, akhirnya di sinilah aku sekarang.

Hari ini, pertama kali semenjak kuliah aku terlambat. Kalau saja semalam ayah tak pulang sambil mabuk dan mulai marah-marah yang otomatis membuatku terbangun tengah malam, mungkin aku sudah duduk manis dikelas sekarang.

Kuliah Pengantar Ilmu Pertanian telah dimulai dari jam 08.00 WIB, namun aku baru tiba dikampus jam 09.07 WIB. Dengan ngos-ngosan karena berlari dari gerbang, aku mengetuk pintu ruangan dan langsung membukanya.

"Selamat pagi, Pak!" Sapaku sambil menunduk tanpa berani menatap mata seorang pria tua dengan kaca mata khasnya dan tiga buah spidol warna disaku bajunya. Pak Jerry, namanya. Dia memang selalu menulis di white board dengan berganti-ganti spidol warnanya, mungkin agar terlihat menarik namun terlihat ribet dimataku.

"Iya, ada perlu apa?" Kata Pak Jerry dengan sedikit menurunkan kaca matanya.

"Sa-, saya mau kuliah, Pak. Maaf saya terlambat."

"Oh, iya." Pak Jerry hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Boleh saya minta tolong?", lanjut Pak Jerry.

"Boleh, Pak."

"Bisa tutup pintunya?"

"Bisa, Pak." Aku langsung menutup pintu dan melangkah menuju bangku kosong dan duduk.

"Siapa yang suruh kamu duduk?" Tanya Pak Jerry.

"Tadi Bapak suruh Saya tutup pintu, jadi saya pikir-"

"Maksud saya tutup pintunya dari luar."

Oh, God. Aku malu. Benar-benar malu. Kenapa aku bisa sebodoh ini? Sejak kapan Pak Jerry menjadi baik hati dengan mentolerir mahasiswa yang terlambat? Aku bangkit berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa sepatah kata pun sambil melirik Nilam, temanku semenjak kegiatan OSPEK. Dia hanya menatapku prihatin. Sementara aku membalasnya dengan kedipan mata sambil tersenyum getir.

Aku memutuskan untuk menuju kantin. Rasa lapar mulai melanda karena aku melewatkan sarapan tadi karena buru-buru. Setelah memesan mie ayam dan es teh manis, aku memandang ke seluruh penjuru kantin mencari tempat kosong. Kantin memang agak penuh pagi ini. Sebagian tidak makan, hanya nongkrong saja. Ingin sekali kuusir, namun apa daya? Kebanyakan dari mereka adalah senior.

Ternyata ada sebuah bangku kosong, disamping seorang lelaki yang sedang makan. Aku bergegas kesana sebelum ada yang merebut bangku itu.

"Permisi, kak. Bangku ini kosong, kan? Aku boleh duduk disini enggak?"

"Hm," jawabnya dengan tak menoleh sama sekali. Aku duduk sambil menggerutu dalam hati. Sombong sekali orang ini. Mentang-mentang senior.

"Untung waktu itu aku bilang sampai jumpa bukannya selamat tinggal. Ya 'kan?" Kata lelaki itu.

Sontak aku menatapnya. Dia, Pan-pan si tampan itu. Entah kenapa aku langsung tersenyum. Sehari setelah kejadian itu, aku selalu mencarinya ketika pulang kampus tapi selalu tak pernah ketemu. Ternyata kita sekampus.

"Aku nggak nyangka kalau kita sekampus." Kataku sambil melahap mie ayam yang telah diantar pelayan kantin.

"Aku juga nggak nyangka kalau kamu selalu nyari aku dihalte," sambungnya.

"Topan. Lengkapnya Topan Ardiansyah." Katanya sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku masih tak mengerti apa maksunya.

"Itu namaku. Dari pada kamu penasaran," lanjutnya.

"Asia Puteri Radinka," kami saling berjabat tangan. Entah mengapa, seperti ada getaran aneh di dadaku. Selanjutnya, hanya ada perbincangan mengenai kita berdua. Topan adalah seorang mahasiswa fakultas ekonomi semester lima. Dia anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya adalah laki-laki. Dari obrolan kami, menurutku dia orang yang asyik.

"Sia, kamu tahu nggak kalau pertemuan kita sekarang ini itu takdir Tuhan?"

"Masa?"

"Buktinya kita ketemu lagi."

"Kayaknya cuman kebetulan deh," kataku sambil tertawa kecil.

"Kebetulan pun itu takdir Tuhan."

Tiba-tiba ponselku bergetar. Ternyata ada pesan whatsapp dari Nilam. Dia bilang dosen mata kuliah selanjutnya sudah datang.

"Sebelum kamu pergi, aku boleh minta nomor HP kamu?"

"Aku bakalan kasih kamu no HP aku, kalau kita ketemu lagi. Aku mau kita buktiin sekali lagi kalau pertemuan kita itu adalah takdir Tuhan."

"Oke. Kalau begitu, sampai jumpa."

Aku hanya tersenyum dan berlalu pergi. Mari kita buktikan sekali lagi, Topan. Harapanku, semesta mengatur pertemuan kita selanjutnya.

..........

Semoga Suka 😊 God Bless You all 😇

ASIA.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang