8. Pengakuan Sang Pujaan

7 2 0
                                    

Merra. Tertulis jelas.

Sepucuk surat tergeletak begitu saja di lantai depan rumahku. Aku membukanya. Apa ini?  Surat berwarna pink dusty. Lilin dengan cap bintang menghiasi. Tumben di sini,  harusnya di box surat. Pelan - pelan ku rogoh isinya. Betapa terkejutnya aku, Test pack? Ada strip dua. Ku periksa maksud dari strip merah itu. Tanda hamil. Merra? Apa maunya? Ku buka lipatan suratnya.

Aku hamil anak Destan. Menjauhlah dari kehidupannya.

Tanganku gemetaran. Pijakan kakiku oleng. Apaan sih Merra? Dia gila apa? Mana mungkin Destan setega itu padaku. Hatiku sakit. Nanar getir ini. Ku telan ludah pahit dan terasa sakit di tenggorokanku. Ini seperti secawan racun yang ku minum sekaligus. Sahabat macam apa dia?

Sofa panjang berwarna maroon, menawarkan bantuannya. Permukaannya seperti beledru. Aroma parfum spa lemonnya membius indra penciumanku. Kulitku tidak merasakan sakit karena kasarnya permukaan. Lampu redup berpendar membentuk cahaya - cahaya kecil di langit - langit rumah. Melingkar berputar. Tangan kuangkat menyentuh bayangannya.

Indah.

Tanpa sadar aku menangis, menahan sakit. Aku memimpikan saat bersama Destan. Kebaikan, kepolosan dan romantisnya begitu memikatku. Memintanya memilihku tidak mungkin. Bagaimana nasib jabang bayinya? Aku tidak egois. Melepasnya mungkin pikiran terbaik. Dia akan bahagia bersama Merra.

Seminggu sebelumnya...

Merenung tentang lamaran Destan, dia sengaja mengingatkan masa dimana aku kehilangan sebagian memoriku. Dia mengunjungiku setelah beberapa hari membiarkanku. Padahal saat dia bilang besok akan kembali,  diam - diam aku menantikan kehadirannya. Memberi ruang istirahat bagiku. Lelaki pengertian,  aku merasa menjadi wanita seutuhnya.

Hentakan tekanan mental yang ku terima mengoyak paradigmaku. Rino telah mempermainkanku,  dia sengaja membuatku mencintainya. Namun disisi lain aku menginginkan Destan. Kilatan demi kilatan peristiwa itu bagai mimpi. Destan menuntunku perlahan,  dia menggiring ingatan saat terakhir kali aku bersamanya. Nuansa yang mengerikan, seperti kegelapan telah menyerangku. Segerombol orang datang ke kamar hotelku. Mereka di pandu oleh sesosok pria bertopeng,  dan aku baru menyadarinya bahwa dia adalah Rino. Parfum yang dipakainya sama dengan Rino. Saat dia memelukku. Histeris mencekikku, antara sadar dan sekarat aku merasakan sakit di pergelangan tanganku. Ikatan tali tampar melekat erat, terasa kasar. Pria bertopeng tadi mencoba menciumku, aku reflek menendangnya. Dia terlihat marah sampai akhirnya aku berakhir di kapal ikan. Akan kubuat perhitungan denganmu Rino.

Destan meyakinkanku, Rino sangat berbahaya. Jangan mengusiknya lagi, dia sangat lihai membuat drama. Hingga akhirnya semua orang akan mempercayainya. Destan sudah membicarakannya dengan Rino. Aku melayangkan pikiranku lagi, menggantungkannya. Haruskah ku ikuti saran Destan? Rino keterlaluan,  dia lelaki possesif,  penggemar pyscho dan entahlah aku mencintainya. Aku telah membiarkan dia menciumku, memasuki celah kosong kerinduan hatiku. Aku ingin menangis lama,  aku menyesalinya saat ini. Cincin berlian pemberian Rino masih kupakai, ada rasa enggan memborgolku untuk tidak melepasnya. Ada ruang kosong yang hilang, aku juga mencintainya. Kurasa.

Aku membuka laci meja riasku, kotak cincin pemberian Destan. Berliannya sangat indah. Aku mengambilnya tanpa ragu. Ku pasang di tangan kiriku, ku angkat ke atas dan melihatnya dari bawah. Cantiknya. Gumamku. Ku tata hati ini untuk menyimpan cincin pemberian Rino,  sambil menutup mata ku taruh dengan hati - hati di kotak yang sama. Aku akan menelponnya.

"Destan, bisakah kamu datang? "

Dia menjawab dari sana (handphone)

"Ok,  tunggu aku di cafe corner. "

Cahaya Kehangatan 1, 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang