A Moment of Truth

286 41 5
                                    

Seokjin segera beranjak dari tidurnya. Ini sudah hampir mendekati waktu yang dijanjikan si paman dan ia masih belum menyiapkan apapun. Semalaman penuh Seokjin hanya bisa membayangkan segala skenario gila di kepalanya, alhasil hampir semalam suntuk ia tidak tidur.

Ketukan pintu membuat gerakan Seokjin semakin gesit. Setelah semuanya selesai ia segera membuka pintu, di hadapannya si paman berdiri dengan ekspresi muram.

"Ayo cepat. Beritahukan juga tentang absensimu ke teman monyet mu," perkataan si paman membuat Seokjin terperanjat kaget. Ia kembali memasang waspada terhadap segala tingkah si paman. Bagaimana dia bisa mengetahui tentang Ken? Apa ia menguntit Seokjin dan Ken? Astaga...

"Si Monyet sudah mengatakan kalau aku seorang Clairs, bukan?" Seokjin mengangguk pelan, tidak mempercayai mulutnya sama sekali. Bagaiman kalau ia salah bicara dan akhirnya si paman memutuskan untuk melenyapkan kehidupan mungil Seokjin? Seokjin masih mengikuti si paman masuk ke dalam mobil, tubuhnya semakin menegang. Ya, ini adalah pilihannya, ia ingin mengetahui apa yang dirahasiakan darinya, ini adalah harga yang harus dibayar.

"Banyak orang yang menganggap bahwa kekuatan yang diberikan pada para Clairs adalah sebuah anugerah," si paman melanjutkan pembicaraannya sambil menghidupkan mesin mobil, "namun untuk kami, kekuatan yang kami miliki tidak lebih dari sebuah kutukan ataupun penebusan dari dosa." Seokjin hanya memandang lurus ke depan sambil terdiam. Mendengar pernyataan dari si paman membuat Seokjin menarik pandangan ke arah si paman.

"Clairs juga manusia, kau tahu? Dan manusia tidak pernah jauh dari kata tamak." Seokjin melihat pandangan si paman yang tertuju ke jalan, namun ia bisa merasakan bagaimana si paman seakan menatap ke masa lalu. "Kami tidak lebih dari seorang yang menginginkan sesuatu yang lebih ketika kami telah di berikan anugerah."

"Clairs lahir dari Adyton."

Bagian terakhir dari pernyataan si paman membuat Seokjin terperanjat kaget. Bagaimana mungkin? Kalau begitu bukankah berarti akan begitu banyak Clairs yang lahir?

"Paman aku tahu kau tidak waras, tapi setidaknya seriuslah untuk kali ini," Seokjin masih memandang si paman dengan tatapan tak percaya. Di otaknya masih terngiang pernyataan terakhir dari si paman.

"Tapi kami ada karena kutukan, Jin. Kami lahir karena kami adalah pembangkang. Jika kau mengetahui cerita tentang Fallen Angels, kurang lebih cerita kami sama."

"Jadi kalian memulai perang dengan tuhan? Astaga... Ini seperti cerita komik fantasi saja... Aku harus membukukan cerita hidupku," Seokjin bersandar santai ke jok mobil sambil melirik sekilas ke pemandangan di luar. "Jadi apa yang sebenarnya terjadi?" Seokjin kembali membuka pembicaraan setelah si paman urung membuka mulut selama 20 menit terakhir.

"Kami memulai perang dengan para Arcana," wajah muram si paman semakin tergaris jelas, genggamannya di setir mobil kian mengerat memperlihatkan urat dan otot tegang yang terbentuk. Suasana di dalam mobil semakin menggelap, seakan ada selimut benci dan sesal yang menutupi mobil. Nafas Seokjin sempat tercekat begitu menyadari perubahan atmosfir perjalanan ini.

"Dulu, Clairs adalah Arcana yang lahir dari Adyton. Mudahnya, dulu hanya ada Arcana dan Adyton, namun setelah perang yang kami buat, Clairs muncul," Seokjin mengangguk pelan mendengar perkataan si paman. Astaga, hidupnya sekarang melebihi drama India. Sungguh dramatis.

"Kenapa kalian memulai perang? Apa kalian begitu menginginkan kekuatan? Lalu apa semua yang ada di pihak kalian menjadi Clairs?"

"Keluar, dari sini kita akan berjalan," sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Seokjin si paman telah berjalan keluar. Seokjin dengan ragu meninggalkan mobil si paman, yang ditinggalkan di sebuah 'tempat parkir ilegal'. Benar- benar si paman ini tidak mengetahui aturan berkendara yang baik. Ketika mobil terlah terkunci si paman berjalan dengan langkah cepat. Seokjin segera menyusul langkah si paman, namun setelah berjalan tak lebih dari satu menit ia menyadari sesuatu. Ia pernah mengambil langkah ini, di suatu waktu di masa lalu yang ia lupakan. Ia mengingat samar bau laut yang ia cium saat ini. Jalan setapak, yang jika ia tidak salah ingat, dulunya adalah hamparan rerumputan pendek yang menuju ke arah pantai. Saat ia mencapai pesisir pantai yang familiar, namun disaat yang sama nampak asing, ia kembali melihat sebuah bayang samar.

ZERO [Namjin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang