Kenyataan

3 1 1
                                    

"Milly, nanti ketemu di depan ruang kesenian lantai atas, ya. Makan bareng. Kamu kan jarang bareng anak lain," kata Erli ikut nimbrung pembicaraanku dengan Bu Mia di kelas saat jam istirahat. Keadaan kelas sedang sepi. Anak-anak sedang di lapangan atau pun kantin.

"Wah, Erli dan teman-teman baik sekali, ya. Tidak memilih teman walau kalian menjadi primadona. Kalian sudah cantik, baik lagi. Baik-baiklah pada Milly. Walau dia pendiam, tapi dia asyik, kok," kata Bu Mia tersenyum. Sebenarnya, Bu Mia adalah tanteku.

"Hahaha, enggak, kok, Bu. Milly juga manis," timpal Kania, anggota geng Erli.

"Bener banget. Milly manis, kok.  Dan bener kata Bu Mia. Milly anaknya asyik dan nyambung kalau diajak ngobrol. Makanya, kami suka kalau ajak dia makan bareng," ujar Erli dengan senyuman cantiknya tapi super-duper fake.

Aku hanya terdiam. Mengangguk dan tersenyum. Memperlihatkan deretan gigiku kepada Bu Mia. "Saya pergi dulu, Bu," kataku pelan.

***
"Mau apa?" tanyaku menatap mata Erli dan tiga temannya.

"Jaga pandangan lo! Jangan sok gitu deh," kata Rita teriak. Sedangkan Fani melipat tangannya didepan dada.

"Udah jelek, item lagi. Ih, jerawatannya juga banyak lagi. Lihat sini deh, guys. Jorok banget, sih? Kayak nggak mandi berbulan-bulan aja lo!" salah satu dari empat orang yang menjadi primadona di sekolah mulai mengoceh di ujung koridor lantai tiga sekolah yang sepi. Rita mendorong bahuku, membuatku hilang keseimbangan sehingga terjatuh di lantai.

"Dih, gue paling benci orang yang punya nama bagus tapi mukanya jelek gini. Grishillda Milly. Namanya bagus banget woy, tapi ada yang bisa jelasin nggak kenapa ini orang nggak sesuai dengan mukanya?" tanya Erli kepada teman-temannya.

"Iya, Er. Lebih baik lu yang pakai namanya, kan lebih cocok," timpal Kania.

"Hahaha. Diem lu!" kata Erli. "Heh buluk, pulang sekolah bawain tas laptop gue. Tangan gue lagi sakit. Awas lo lapor-lapor ke guru apalagi orangtua. Gue teror terus," kata Erli.

Aku hanya terdiam, mengangguk layaknya seperti seorang budak yang melayani tuannya. Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan semua ini.

"Eh iya, gue tau lu kaya. Bisa nggak, gue minta 15.000. Gue pengen beli lasagna di kantin. Uang gue habis," kata Fani. Aku melongo melihat mukanya. Sepersekian detik, aku tersadar. Diantara tiga anggota lain, Fani lebih sedikit manusiawi ketimbang yang lain.

"Malah bengong, cepetan serahin!" Rita membentakku.

"Eh iya... Maaf. Ini, Fan," kataku menyerahkan uang setelah merogoh sakuku.

"Thanks. Yaudah lu pergi aja, Mil," kata Fani tersenyum.

"Beb, kok dilepasin? Masih belum setengah jam kita kerjain ini anak," kata Erli bingung.

"Udah. Disini gue yang jadi ketuanya. Jadi jangan sok berkuasa," kata Fani sinis menatap Erli. Erli terdiam. Fani mengisyaratkanku untuk pergi.

***
Tinn Tinn!
Mobil BMW hitamku berhenti didepanku. Kaca jendela mobil dibuka. "Ayo naik, Sayang. Bentar lagi hujan," kata Papa. Aku segera masuk. Lalu memasang seatbelt.

Mobil melaju dengan kecepatan standar, melintasi gedung-gedung tinggi di pinggir jalanan. Awan gemuk mulai menghitam. Lalu mengeluarkan tetesan-tetesan air.

"Hmm, Milly kangen mama," kataku sedih.

Papa mengalihkan konsentrasinya dari jalanan padaku sebentar. Lampu merah. Papa memberhentikan mobil.

"Milly ada masalah di sekolah? Cerita sini," kata Papa mengelus rambutku. Aku menggeleng, mengusap butiran air mataku yang jatuh. Papa menepuk pundakku. "Papa juga kangen sama mama. Tapi kan, mama sekarang sudah bahagia diatas. Jangan nangis, kan masih ada papa. Ya?" hibur Papa.

"Iya..." kataku lirih.

"Udah, jangan nangis. Kalau nangis nanti papa dimarahin mama lagi. Nanti malam mau makan malam diluar?" tanya Papa. Lampu merah berganti dengan lampu hijau. Papa menginjak gas mobil, mulai melaju.

"Boleh," kataku mulai tenang. "Umm pa," kataku pelan, mulai ingin bercerita tentang perlakuan tukang bully di sekolahku.

"Boleh nggak, Milly pindah sekolah?" tanyaku menunduk.

"Nggak bisa, Sayang. Kan sudah kelas tiga SMP. Beberapa minggu lagi, kamu juga sudah mau UNBK, kan," kata papa.

"Yah..." kataku lirih, memasang ekspresi sedih. Papa tersenyum.

"Iya iya, Sayang. SMA nanti papa sekolahkan di Bandung. Di apartemen ya? Kan Kak Raisa ada di Bandung juga. Jadi enak," jelas Papa. Aku mulai tersenyum. Sebuah harapan mulai muncul.

"Bener, Pa? Yeayy," kataku riang. Papa mengangguk dan tertawa kecil melihat tingkahku.

"Anak papa cantik deh kalau tertawa. Matamu itu loh, mengingatkan papa pada mama. Mata cokelat dengan bulu mata lebat yang lentik," kata papa tersenyum.

"Mama kan, memang cantik. Kalau aku? Udah hitam, kurus, jelek lagi," kataku mendengus.

"Nggak, kalau sudah besar pasti cantik, kok. Sekarang aja sudah kelihatan cantiknya," kata papa merayuku.

"Masa sih, Pa? Hehehe, bisa saja," kataku. Melihat ke arah kaca yang ada di duskboard mobil. Papa tersenyum.

Bagaimanapun perlakuan tukang bully di sekolahku, dimana mereka berempat selalu tersenyum senang ketika menjahiliku, mengejekku, mengumpatku. Mereka amat bahagia. Menjalani hidup dengan santai dan penuh gairah. Seolah tidak ada masalah dalam hidupnya, selalu diliputi kebahagiaan. Aku sadar. Hidupku jauh lebih bahagia jika dibandingkan dengan hidup mereka yang merenggut kebahagiaan orang lain demi memuaskan hidup mereka yang menyedihkan itu. Poor you.

***



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Beauty InsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang