11. Bianglala

394 37 50
                                    

Raka, dokter muda itu melemparkan sebuah kaleng minuman ke arah Titan di seberang tempatnya duduk, dan tentu saja dengan cekatan Titan menangkapnya.

Titan mengamati kaleng minuman di tangannya. Senyum gelinya tiba-tiba terbit. "Bukannya soda nggak baik buat kesehatan, ya, Pak Dokter?"

Raka menggerakkan punggung, mencari posisi ternyamannya. "Nggak buat lo mati kalo cuman sesekali."

Titan tertawa pelan, sedang Raka menghela napas saat menemukan posisi yang pas untuk punggungnya. Kemudian, dokter muda itu beralih ke arah Titan.

"Masih inget aja lo, ya, rumah gue," ujar Raka.

Pandangan Titan yang semula pada kaleng di tangannya, kini teralih ke arah Raka di hadapannya. Lalu pemuda itu mendengus pelan.

"Ingat apanya? Orang gue nyasar sampe ke komplek sebelah."

Raka geleng-geleng kepala seraya tertawa pelan. "Emang selama apa, sih, lo di Bandung? Bandung adem banget, ya, sampe-sampe buat lo betah?"

"Terlanjur nyaman, Dok." Pemuda itu tertawa lagi.

"Setau gue, nyaman itu menjebak," ujar Raka filosofis.

"Dan terjebak itu nyaman, Dok," balas Titan tak kalah filosofis.

Raka kembali geleng-geleng kepala, takjub. Pemuda yang lebih muda lima tahun di bawahnya ini memang pintar membolak-balikkan kata. Kalau sudah mengobrol dengan Titan, kalimat tak lagi punya satu makna, tapi puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan.

"Jadi," Raka berdehem pelan sebelum akhirnya kembali berujar, "tawanan kembali pada sang penculik, atau buronan akhirnya nyadar kalo sejauh apapun dia pergi, itu hanya sia-sia karena borgolnya masih melingkar di pergelangan tangan, dan jidatnya tertulis tinta permanen dengan tulisan buronan?"

Titan tersenyum geli. Sumpah demi apapun, kalimat yang entah pernyataan atau pertanyaan itu sangat penuh dengan majas. Dan yang paling lucunya lagi, kalimat itu meluncur mulus dari seorang Raka.

"Lo kesurupan penyair mana, dah? Bahasa lo penuh majas gitu." Titan bergidik ngeri di ujung kalimatnya.

Raka ikut tertawa, menyadari perkataannya yang justru membuatnya ikut merasa geli.

"Tapi serius, deh, lo lebih berbakat masuk sastra daripada jadi dokter," kata Titan jenaka.

Tawa Raka memelan, lantas lenyap perlahan. Dokter muda itu tersenyum kecil. "Terjebak emang buat nyaman, kan?"

***

"Mau naik itu!"

Rhea menunjuk permainan odong-odong yang dinaiki anak-anak yang umurnya berkisaran lima tahun. Ya, mereka sedang di pasar malam saat ini. Dan ajaibnya, untuk pertama kalinya Dione ke pasar malam setelah sekian lama tak pernah menapaki kakinya di tempat seperti ini. Terakhir ia ke pasar malam, saat bersama ibunya sepuluh tahun yang lalu.

Dione menggeleng tegas. "Itung umur lo!"

Rhea cemberut, Dione lagi-lagi menolak yang ia inginkan. "Emang salahnya di mana kalo gue naik itu?"

"Kasian sama yang punya odong-odong, entar bangkrut karena mata pencariannya ancur abis lo naikin."

Rhea mendengus kesal. "Jadi maksud lo gue gendut?"

"Emang gue bilang gitu?"

Rhea memukul bahu Dione dengan kuat. "Lo nggak bisa nggak nyebelin sehari aja, ya?"

Dione meringis seraya mengusap bahunya. Bukannya marah karena bahunya dipukul oleh Rhea, Dione malah menerbitkan lengkung pelangi terbalik di wajahnya.

SATURNUS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang