Sebelas

202 25 2
                                    

Ziel terbengong sendiri mendengar penuturan Arwan barusan padanya. Apa yang barusan Kakeknya katakan itu?

Aruna akan pulang pergi sendiri dengan transportasi umum. Ziel tak usah repot-repot menunggunya berangkat atau pulang.

Bersama kalimat itu seharusnya Ziel senang bukan? Tapi kenapa ia malah bingung dan merasa... aneh?!

"Kakek... Kakek serius??" Tanya Ziel lagi. Mungkin ini sudah kali ketiga ia bertanya dengan pertanyaan yang sama.

Arwan menghela napasnya panjang. "Iyaa, Ziel. Kakek capek harus ulang-ulang terus!"

Ziel mengerjapkan matanya. "Terus sekarang anak itu dimana?"

"Aruna sudah berangkat dari tadi, Ziel. Katanya, dia tidak mau telat. Makanya harus berangkat pagi." Imbuh Tama sambil menyesap teh hangatnya.

"Padahal Kakek berencana memberikan Sedan hitam dan Pak Yudhi buat Runa. Tapi karena dia bilang begitu, yaudah Kakek tidak bisa berbuat apa-apa lagi."

Ziel mengernyit. Dalam hati ia penasaran dengan maksud perkataan Kakeknya tentang apa yang Runa katakan pada Kakek. Tapi tak ia utarakan. Bukankah terlalu aneh kalau ia sampai menanyakan hal itu lebih detil?

"Yaudah, Ziel berangkat dulu. Tapi Ziel pake motor ya!"

"Asal hati-hati." Ujar Tama. Ziel mengangguk.

"Jangan ngebut!" Seru Fazria menambahi. Ziel mengangguk sekali lagi.

"Ziel!!" Teriak Arwan begitu Ziel baru sekali langkah.

"Kenapa, Kek?" Tanya Ziel setengah kesal.

"Salam! Cium tangan!!"

Ah. Ziel lupa akan hal itu. Atau lebih tepatnya ia berusaha tak melakukan itu. Mengapa? Rasanya kuno sekali bukan harus cium tangan seperti itu?!

Namun, karena tak mau membuang waktu untuk berdebat akhirnya ia menuruti apa yang Kakeknya katakan. Mencium tangan.

***

Runa tersenyum senang begitu ia berhasil sampai di sekolah tepat jam 7. Akhirnya dia kembali menjadi anak rajin seperti dulu.

Langkahnya langsung menuju "XII-Sains 1" begitulah yang tertera di papan kecil di atas pintu itu. Suasana kelas masih sepi mengingat jam masuk sekolah ini pukul 8, tak heran.

Runa meletakkan tasnya di atas meja. Kalau dulu, saat tiba di sekolah ia harus menjalankan piket pagi, berbeda ketika bersekolah di sini. Tak ada piket. Tak kaget juga, karena ia tahu di dalam sekolah ini banyak penerus Raja dan Ratu yang memang selalu dilayani bukannya melayani.

Ia lantas berjalan keluar kelas, hendak duduk di atas pembatas koridor itu. Baru beberapa saat, kemudian sebuah suara memanggil namanya membuatnya menoleh dan tersenyum karenanya.

"Rini!!" Seru Runa. Wajahnya begitu senang.

Rini tersenyum. "Nggak nyangka lo dateng jam segini."

"Dulu malah bisa lebih pagi. Ini termasuk kesiangan."

"Iya ya?" Tawa Rini berderai, begitu pula Runa.

"Kemarin gimana? Udah selesai?" Tanya Runa teringat kejadian kemarin.

"Yaa begitulah." Rini angkat bahu. Membuat Runa mengernyit.

"Begitu gimana?"

"Damai tapi gak pake hati." Lalu, Rini tertawa.

Berbeda dengan Rini, Runa malah menautkan alis matanya rapat-rapat. "Kenapa gitu?"

"Hm... yaudah lah, nggak usah dibahas ya. Bikin badmood!" Ujar Rini.

ARUNA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang