Part 1

1 0 0
                                    

Hangusnya Uang Tujuh Milyar
Part 1

Bukan ember, tetapi tujuh milyar.
Siapa sangka aku mendapat warisan tujuh milyar setelah meninggalnya ayah angkatku.
Terlebih, setelah aku nekat memperistri Nuke, seorang janda cantik langganan kencanku dari rumah remang-remang. Mama menentangku habis-habisan. Mama tidak habis pikir, bagaimana mungkin aku yang bermata sipit, berkulit putih bersih, dan dari keluarga yang berkecukupan itu memilih Nuke.

Tapi aku tak perduli.
Bagiku, Nuke adalah mutiara yang jatuh di lumpur yang pekat. Ia cantik, berkulit kecoklatan, bertubuh sintal, kata orang- orang bahenol dan semlohay.
Nuke membuatku tergila-gila.

"Chen Fa, Mama tidak bisa menghalangimu. Tapi kalau menurutmu itu baik, jalanilah. Mama hanya bisa mendoakanmu," kata Mama dengan berurai air mata.
Aku menciumi tangannya berkali-kali sambil meminta maaf.

Ayah angkatku menepuk pundakku seraya berkata,"Selamat berjuang sendirian Chen Fa."

Aku cukup mengerti dengan kata itu. Beliau benar-benar melepasku, tidak akan mau tahu lagi dengan hidupku.
Sedangkan saudaraku yang lain hanya tersenyum tipis, mengucapkan selamat jalan. Mungkin bersyukur melihatku angkat kaki dari rumah megah ini.
Aku menyadari siapa diriku yang hanya adik angkat, mereka tidak menyakitiku saja aku sudah berterima kasih.

Sejak itulah aku tidak menginjakkan kaki ke rumah megah ini. Kemudian aku menikah dengan Nuke, dan kembali ke desa asal kelahirannya.

Desa Pancur merupakan desa  yang terpencil, jauh dari kota, letaknya yang di bawah perbukitan membuat udaranya demikian sejuk dan segar. Aku yang pendatang baru dengan wajah chinesku sangat menarik perhatian warga sekitar. Mereka yang rata-rata penghidupannya dari bertani, beternak sapi dan kambing, dengan makan seadanya tentu saja memandang kehidupanku dengan Nuke sebagai kehidupan yang "wah."

Bulan-bulan awal pernikahan  kami hanya bersenang-senang saja. Apalagi pesangon dari perusahaanku masih lumayan banyak. Ya, aku resign dari perusahaan tempatku bekerja saat aku memutuskan menikah dengan Nuke. Hingga akhirnya tabunganku menipis. Jiwa dagangku mulai kuberdayakan. Aku membeli beberapa kios di pasar, dan kupekerjakan beberapa orang disana.
Nuke yang memang pintar memasak membuka warung makan kecil di rumah kami.
Syukurlah usaha kami maju pesat, dan seiring dengan itu lahirlah berturut-turut tiga anak kami, Imey, Reno, dan Jasson.  Karena kesibukan Nuke mengurus 3 anak, akhirnya warung makan pun tutup.

Tapi ternyata roda tidak selalu di atas. Kiosku di pasar bangkrut. Sepi pembeli.
Mungkin karena aku jarang mengecek perkembangannya. Aku terlalu sering di rumah, antar jemput anak sekolah, dan ngoblor ngalor ngidul dengan tetangga. Siapa sih yang tidak suka disanjung dan dikagumi banyak orang.
Terlebih aku bukan orang yang pelit. Orang-0rang sering menyanjungku saat kami ngobrol di warung kopi. Paling habis lima puluh ribu rupiah, itu sudah cukup membayar makan dan minum sembilan  orang. Harga secangkir kecil kopi seduh masih seribu rupiah di kampung, dengan sebungkus nasi pecel seharga tiga ribu dan gorengan ubi seharaga lima ratusan. Kemana-mana orang ramai menyanjungku, membuatku terlupa dengan kios ku di pasar.

"Koh Chen, saya sudah tidak sanggup jaga kios ini. Sehari hanya satu dua pembeli. Barang-barang pun banyak yang kadaluarsa," kata Joni pegawaiku.
Dua kios lainnya malah sudah gulung tikar dari bulan lalu. Akhirnya kujual dua kiosku, dan hasil uangnya kupakai untuk mengisi kios yang kupertahankan. Sejak itulah hidupku turun drastis. Aku harus jaga kios, sejak pagi hingga siang. Lokasi pasar dan rumah yang jauh membuat aku makin payah.
Hanya tiga bulan kiosku ramai, sementara Nuke tidak bisa hidup seadanya.

Pagi ini aku nekad, menghubungi temanku di Surabaya. Semoga saja nomornya masih aktif, doaku.
"Halo, siapa ini."
Kudengar suara Lim di telepon.
"Aku, Chen Fa."
"Chen Fa, gimana kabare?
Piye uripmu karo Nuke? (Bagaimana hidupmu dengan Nuke?)
Ijik uayu mestine Nuke ya Chen.(Masih cantik pastinya Nuke ya Chen)
Beh, aku rung sempat ngicipi wis mbok gowo mlayu ae rek." (Aku belum sempat mencicipi sudah kamu bawa kabur saja).
Lim mencerocos dengan bahasa surabaya yang kental. Dia dulu rekan kerjaku yang mengejar-ngejar Nuke juga, padahal sudah beristri.

Pada Lim  kukeluhkan kondisi ekonomiku yang memburuk, dan jawaban Lim membuatku terjengat.

"Jual Nuke!  Itu solusi yang mudah, Chen."
"Aku tak sampai hati."
"Kalau begitu bersiaplah anak-anakmu mati kelaparan."
"Opo yo ijik payu Nuke, Lim?" tanyaku perih.
(Apa masih laku Nuke, Lim).
"Loh, mesti ijik payu lah. Tawarno ae karo pelanggane biyen." (Loh, pasti masih laku. Tawarkan saja dengan pelanggannya yang dulu).
Aku terdiam.
"Pie Chen. Nak iyo, aku tak daftar yow. (Bagaimana Chen. Kalau iya, aku daftar ya).
Saknjalukmu bayarane." (Semau kamu bayarannya).
Klik.
Putus pembicaraanku dengan Lim.

bersambung atau tidak ya?
Bersambung ke part2

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hangusnya Uang Tujuh MilyarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang