tenang.

4 2 0
                                    

singkatnya begini.

satu batang dicapit dibibirnya, dan mulai dinyalakan, dihisap lalu hembuskan.

gaya santai, dengan pakaian casual menampilkan gaya sedikit keren.

duduk dipojok kedai kopi menikmati lalu lalang manusia dibalik jendela,

ia bosan,

iya, menunggu merupakan hal yang membosankan bukan?

setiap hembusan menjadi asap, yang bergimang di udara. netranya masih menatap kearah luar jendela.

tanpa sadar gadisnya sudah di depan mata.

"sudah lama?"

yang dilihat hanya menatap sinis, membuat sang pujaan kekeh gemas.

"iya maaf, tadi macet ada
kecelakaan juga. "

menjelaskan dengan baik dan duduk dihadapan seraya menyimpan dagu di tumpuan tangannya.

"kak dama,"

yang dipanggil hanya menoleh, lalu menatap, saling bertatap dan tidak bersuara.

"sore ini jadi kan? kamu sama aku
berdua?"

pria berambut coklat blonde bersuara, menghilangkan hening, di balas anggukan sebagai jawaban.

"kenapa lama?"

"kan aku bilang, macet plus ada
kecelakaan, ga denger?"

"dengar, maksudnya-"

"apa?"

"-kenapa ga telpon, kan bisa aku
jemput. "

"malas, kamu suka ngebut nanti celaka."

"ngawur."

hening kembali, selalu seperti ini.

netranya menatap lekat pria dihadapannya, melihat detail kening yang tertutup oleh plester berwarna coklat hampir sama dengan kulit.

"kenapa?"

yang ditatap hanya melihat, sinis sedikit.

"balapan lagi?"

"dimana? kapan?"

pertanyaan bertubi, manusia didepannya masih sibuk hembuskan asap, lalu memutarkan diasbak hingga mati padam.

"kenapa? gasuka?"

"jelas, bahaya."

"khawatir?"

"menurutmu? "

terlampau gemas jika melihat gadis dihadapannya sudah sedikit merajuk.

laki-laki itu berpindah posisi menjadi berdampingan dengan wanitanya, merangkul seorang yang merajuk.

"maaf ya? nanti hati-hati deh."

diusapnya lembut rambut pendek sebahu itu.

"hati-hati? masih mau balapan?"

mengangguk tanda jawaban.

bola matanya memutar malas, jelas laki-laki disampingnya tidak bisa jaga diri.

.
.
.
.













"pegangan, kalau bisa peluk."

"malas, nanti keenakan."

"Sabit, mau selamat atau
tinggal disurga?"

satu pukulan tepat dibahu dengan keras, yang mengoda hanya tertawa kecil melihat wanita yang di tumpangnya cemberut, lalu sedikit memeluk pinggang yang dilapisi jaket levis abu.







-
-
-

diatas gedung, dan melihat panorama sore yang menghadirkan senja sore, romantis memang.

"kenapa suka kesini?"

"tenang."

"suka suasana tenang? "

"engga-"

"-suka sama Sabit."

bahkan tidak saling tatap, tapi membuat pria blonde itu sedikit melekukkan garis manis dibibirnya.

"belum suka kamu."

celetuk jelas, membuat pria itu melirik lalu membuang pandangannya ke depan, melihat isi kota dari atas.

"setelah dua tahun? sebegitu sulit
rasa suka tumbuh dihatimu?"

yang disamping hanya melirik setelah ucapan itu, dahinya mengerut banyak tanda tanya dikepalanya.

"lupakan, anggap saja saya
ga ngomong gitu."

diam,
menatap kota disore hari, diatas gedung berdua memang nikmat ya, ditambah hembusan angin yang membatu menyibak rambut blondenya,

ganteng, asli.

"Kak Dama,"

yang dipanggil hanya berdehem, tanda sebagai jawaban.

"ayok pulang."

"kenapa?"

"kamu marah?"

"belum tenang, Sabit."

ia manarik pergelangan tangannya, mengarahkan agar bisa berhadapan.

bertatap mata sudah menjadi kebiasaan, yang ditatap memang manis, sangat manis.

fak,!

"ayok pulang, sudah tenang kok."

-

-

-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MC. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang