2 | Blus Kuning Renata
BAGI manusia yang nggak punya passion kayak aku, harapanku begitu masuk kuliah adalah bisa menemukan passion tersebut.
Tapi kayaknya, perkara menemukan passion ini nggak semudah di film-fim pencarian jati diri remaja, ya. Padahal kupikir ngelihat perjuangan orang-orang meraih mimpi sesuai passion aja udah sulit. Ternyata, bahkan untuk mencari tahu passion-ku ini apa aja juga susah. Lima bulan sudah aku kuliah dan aku masih nggak tahu passion aku apa. Aku harus nunggu berapa lama nih untuk tahu passion-ku? Eh, tapi harus aktif kan ya, untuk tahu apa yang kita inginkan? Atau mungkin aku ini kurang aktif karena aku mager? Tapi kan aku udah rajin ikut UKM, kadangkala ikut kepanitian event tertentu, dan kadang suka ikut beberapa acara atau seminar di kampus. Ada pilihan ikut organisasi lain kayak BEM, pengurus Himpunan Mahasiswa, atau bikin paper untuk LKTI gitu, sih. Tapi, aku bisa kebayang betapa capeknya kalau aku ikut itu semua. Aku anaknya jauh dari kata ambisius soalnya.
Tapi, apakah menemukan passion berarti aku harus jadi anak yang ambisius, ya? Entah deh sama manusia yang mampu menjalani hidup sebagai mahasiswa teladan berprestasi yang bikin paper ini-itu, ikut BEM, ikut UKM, jadi asdos, jadi ketua atau penanggung jawab berbagai organisasi dan kepanitiaan, sekaligus masih aktif olahraga dan menjaga IPK tetap cemerlang. Kalau ada manusia yang kayak gitu, kayaknya itu bukan manusia deh, melainkan titisan dewa. Orang aku yang cuma kuliah, bikin tugas, sama ikut UKM aja capeknya bukan main. Apalagi yang ngambil paket lengkap plus-plus macam itu? Fix bukan manusia sih. Dan lagian, orang yang kayak gitu ngejar passion atau enggak, ya? Tapi ngejar atau pun enggak, setidaknya dia punya portofolio bagus yang menjadikan kans dia diterima kerja lebih tinggi, entah pekerjaan itu sesuai passion dia atau pun enggak.
Lah aku gimana dong? Manusia macam aku ini yang mau kejar passion tapi nggak sebegitu ambisiusnya untuk mencoba segala hal untuk trials and errors, itu gimana? Manajemen waktuku udah cukup dengan kegiatanku sekarang tanpa ditambah-tambahi lagi. Aku anaknya nggak mau maksain diri gitu. Tapi, ini tuh sifat yang kalau dipikir-pikir artinya kurang mendisiplinkan diri bukan, sih?
"Neng, mau pesan apa?"
"O-oh!" Aku terkejut dari lamunanku. Teringat bahwa aku mengantre untuk memesankan makanan untuk teman-temanku. "Pesan ayam kremes dua, ayam bakar satu, Bu! Diantar ke meja yang di belakang ya!"
Setelah si ibu kantin mencatat pesanan, aku beralih ke tempat penjual minuman dan memilih menunggu es cokelatku selesai untuk kubawa sendiri ke mejaku. Tania dan Linda berkata bahwa untuk minuman, nanti mereka pesan sendiri begitu sudah ke kantin. Tadi mereka ada perlu dulu sama dosen sebagai Penanggung Jawab Mata Kuliah. Jadilah aku ke kantin duluan dan mereka menitip untuk dipesankan makanan dulu.
Usai membayar minuman, aku membuka ponsel untuk mengecek siapa tahu Linda atau Tania sudah memberi kabar. Belum ada chat apa pun. Aku membuka Instagram sambil berjalan ke arah meja di belakang dengan santai.
Sebelum gelasku jatuh karena menabrak sesuatu.
Mulutku terbuka. Napasku tercekat melihat siapa orang sial yang tertabrak dan terkena es cokelatku.
Renata Tunggadewi. Sang Putri Emas dari Fakultas Ekonomi. Luar biasa cantik dan perfeksionis hingga ke titik nggak ada orang yang berani macam-macam sama dia.
Dewi Fortuna pasti lagi absen dari hariku karena seorang Renata jelas nggak akan memaafkan kecerobohan seperti ini begitu saja.
Sepasang mata berlensa cokelat Renata memelototi blus kuningnya yang kini ternoda warna cokelat. Dan yang lebih parah ... celananya yang putih juga terkena noda panjang. Nodanya warna cokelat. Kalau orang nggak tahu kejadian ini, mereka bisa mengira Renata habis mengompol atau habis pup cair di celana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart of Havoc
Подростковая литератураWhen dreams come true, but you forget the risk. Copyright 2019 by Crowdstroia