Come What May of Us, Stay...

220 42 4
                                    

"Seokjin."

"Ah...?"

Suara alto seorang wanita menyadarkan Seokjin. Ia lihat diambang pintu, selalu dengan pose kaku dan wajah tanpa emosi, Nona Park berdiri memandangnya dengan tatapan dingin. Seokjin sudah mengerti bahwa sejak ia kecil Nona Park tidak pernah sama sekali menyukai dirinya, ia merawat Seokjin pun karena itu adalah pesan terakhir dari Bunda. Seokjin melemparkan sebuah senyum kecil, yang bahkan tidak dari hati, ke arah Nona Park. "Sudah hampir sembilan tahun kita tidak bertatap muka bukan, Nona Park? Tiap kali aku berkunjung kau selalu di luar radar hahahahaha."

"Nona Muda Jung selalu bertindak impulsif, kau tidak perlu merasa tersakiti."

Perawakan Seokjin berubah mendingin, tidak ada lagi senyum palsu menghiasi bibirnya, matanya kembali kosong, dan mau bagaimanapun hatinya tetap merasa sakit. Nona Park selalu tahu, itulah yang apa yang Seokjin percaya selama ini, bahkan sebelum kegilaan ini ia sadari. Apakah mungkin Nona Park adalah seorang Clairs? Atau mungkin Arcana? Namun kiraan kedua Seokjin dibantah dengan ingatan bahwa Clairs memberontak sistem Arcana, mana mungkin ada musuh yang rela menghabiskan waktu menjaga 'wadah' dari pemberontak.

"Saya persilangan antara Gilda dan Arcana, kau bisa mengira setelahnya. Dan benar, kau adalah wadah kekuatan Nona Muda Jung. Dia terlalu lama hidup, itu katanya," Nona Park berjalan mendekati Seokjin yang masih membeku mendengar pernyataan tak terkira tadi. Wow, dunia benar- benar seorang bajingan. Seokjin kemudian merasakan sensasi hangat menjalar dari dahi ke seluruh tubuhnya, kecuali bagian mata kirinya. Bagian itu terasa tak nyaman dan seperti ada tongkat baseball yang menghantam pelipis kirinya. Seokjin secara reflek menutup kedua mata dan memegang wajah bagian kirinya.

"Aku tidak bisa melakukan lebih dari ini. Temui Tuan Muda Jian di lantai bawah, dan jangan membawa keributan," Seokjin merasakan sensasi tadi menghilang seiring dengan kepergian Nona Park. Namun hal menyeramkan dan menyakitkan tidak berhenti di situ, ketika Seokjin membuka mata ia rasa ingin teriak lalu loncat dari atap. Mata kirinya mengalami glitch, kerusakan, keanehan, dan hal sebagainya. Dengan langkah bak gajah yang dikejar tikus, Seokjin turun ke lantai dasar. Ia menuju ruang tamu dan bertatap langsung dengan si paman, yang sedang menyeruput teh darjeeling dengan santai. Si paman menatap Seokjin, yang menatapnya dengan tatapan ingin membunuh.

"Wow, matamu keren," satu kalimat dari si paman membuat kepala Seokjin kembali terasa panas, kali ini karena rasa muak. Seokjin segera pergi ke kamar mandi lantai dasar untuk bercermin, dan benar saja, ia mendapati mata kirinya, yang awalnya berwarna coklat gelap indah, berubah warna menjadi violet. Seperti yang si paman katakan, 'keren'. Begitu amat 'keren' hingga Seokjin merasa ingin membanting cermin yang ada di hadapannya, sayang cermin itu menempel pada dinding.

Seokjin menarik nafas dalam berusaha untuk menenangkan diri. Sayangnya jantungnya tetap berpacu kuat dan kondisi mata nya tetap sama. Ia kembali berjalan ke ruang tamu dengan langkah mantap dan duduk bertatap muka dengan si paman. "Apa yang terjadi denganku? Apa yang kalian lakukan dengan mata kiri ku? Ada apa dengan mata kiri ku? Dan bagaimana cara mengembalikan mata kiriku menjadi normal?" ucapan Seokjin penuh dengan nada menuntut, yang memang ia pantas miliki, dan menatap si paman seakan matanya dapat meluncurkan laser.

Si paman menghela nafas kasar. Ia menatap Seokjin dengan tatapan iba. "Kekuatanmu terbebas. Kami tidak melakukan apapun padamu. Mata kirimu masih belum bisa dikendalikan, karena itu bukan milikmu. Hanya kau dan partner mu yang mengetahui caranya." Seokjin seakan menjadi bodoh ketika mendengar jawaban si paman, karena ia tidak mengerti apa maksud dari semua jawaban si paman. Seokjin hanya bisa menatap si paman dengan tatapan bodoh, namun setelah menata ulang pikirannya Seokjin terduduk lemas. Ia ingin menanyakan satu lagi pertanyaan, namun ketika mulutnya sudah terbuka entah kenapa suara tidak mau keluar dari tenggorokannya. Seokjin terlalu takut mendengar jawaban, ia tidak tahu apakah jawaban dari pertanyaan ini akan lebih menyakitkan dari hasil temuannya dari 'mimpi' mengenai bunda. Seakan membaca pikiran Seokjin, si paman menatap ke kejauhan dengan tatapan sendu, bak bulan sudah ada di genggaman namun ia tak bisa menyentuhnya.

ZERO [Namjin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang