Mengapa Sebegitu Mudahnya?

7 2 0
                                    

Kau terisak di tengah jalan. Setelah selesai menaiki bilah-bilah kayu. Kau pulang dengan keadaan hancur, hati yang remuk, terpecah menjadi berkeping-keping, emosi yang berapi-api, amarah yang tak terelakkan, mata yang sembab, yang terpenting dari semua kehancuranmu bukan itu semua. Tapi sebuah nilai yang tinggi harganya, hal terpenting dari seorang gadis.

Kau menyesali sekaligus mengutuk diri sendiri. Lagi-lagi, kau yang menyalahkan diri sendiri. Sebab memang benar, jika dipikir kembali dan mendalam, kau yang memantik api terlebih dahulu dan sekarang kau yang harus memadamkannya tanpa alat bantu. Dan tentu saja itu berpotensi untuk menyakiti dirimu.

Bukan sekali-dua kali kau begini. Mandi luka pada kubangan yang sama. Mandi peluh berkelambu sendu yang berbahaya. Justru ini lebih berbahaya.

Padahal, kau yang lebih tahu tentang siapa dirimu, tentang bagaimana kondisimu, dan lebih banyak lagi. Seorang gampang bosan, takut ditinggal, dan kepercayaanmu yang telah koyak kepada orang lain. Tidak heran jika kau selalu pencitraan di depan mereka dengan melempar senyuman termanis yang pernah dimiliki.

Sebagian dari mereka tidak kuat. Memilih mundur secara perlahan. Berakhirnya pun dengan cara yang bervariasi namun tetap bersifat pada satu kesamaan , yaitu sama-sama meninggalkan. Bertemu dan berpisah dengan cara yang sama dengan sebelumnya. Kejenuhan itu telah hinggap pada dirimu, namun tidak pernah sedikitpun kau merasakan lelah. Atau mungkin merasakan, namun tidak jera. Atau mungkin telah jera, namun kau terus menyiksa diri sendiri dengan menahan luka dan terus menderita. Sampai kapan?

Sepanjang perjalanan terjadi konflik yang begitu ricuh jika mereka semua tahu. Di antara kerumunan manusia, satu orang sedang menahan berapi-apinya amarah dan ingin meledak rasanya. Dalam hati, hanya ia seorang yang berbicara. Berdamai dengan diri sendiri. Mengutamakan pemikiran daripada perasaan. Sebab kutahu, perasaanmu rapuh, mana mungkin dijadikan bahan utama untuk menentukan arah. Pemikiranmu masih kuat, kau mencoba tegar di atas luka yang begitu keras dan kuat membawamu ke dalamnya. Kau mencoba tegar atas segala penderitaan yang menyeretmu pada jurang keremukan dan ketidakpercayaan untuk kesekian kalinya.

Bertemu dengannya, kau mulai menaruh percaya, mencoba membangun kembali bangunan kepercayaan sekaligus membangun benteng pertahanan jika bangunan kepercayaan itu runtuh. Kau mencoba membuka hati perlahan dan mengikut alur mainnya. Dalam duka, kau dibelainya, dibawa ke zona nyamannya, menjadikanmu sebagai pelipur laranya, ada satu yang kau tidak tahu bahwa ia lebih kejam melebihi yang sudah-sudah.

Kau

Menjadi

Bonekanya.

Istimewanya dia dalam hal negatif adalah begitu. Kau dijadikan sebagai alat pemuas, bonekanya. Perasaanmu terluka. Setiap kata yang ia ucapkan begitu manis, namun kau sadar, kau tidak ingin lagi tertipu oleh lelaki-lelaki yang tidak punya pendirian dan tanggungjawab. Kau mencoba bertahan untuk tidak menaruh kepercayaan yang begitu dalam terhadapnya.

Semakin hari, semakin dekat dan semakin lengket. Kau mulai percaya bahwa dia akan tetap tinggal. Namun bukan dirimu yang seolah selalu menuruti pribadi yang kedua untuk masuk dan mendominasi dirimu, bukan dirimu yang seolah selalu menuruti moodmu yang tidak karuan. Kau selalu menjadi ujian bagi mereka yang ingin bertahan. Entahlah, mungkin itu salah satu caramu untuk menyeleksi siapa yang pantas bersamamu. Yang siap menerima segalanya yang ada di dirimu.

Dan sekarang, kau percaya sampai akhirnya kau dibuat kecewa. Pada kenyataannya, ia sama saja. Sama dengan semuanya. Yang datang lalu pergi sebegitu mudahnya.

Kau mulai bertanya.

Sebegitu mudahnyakah?

Kau terus-terusan bertanya di sepanjang perjalanan menuju pulang. Ini yang mudah memainkan perasaan, dirimu sendiri atau memang kau yang menjadikan orang yang dekat denganmu selalu kau jadikan sebagai korban? Kepalamu menggeleng keras. Memicu perhatian dari semua penumpang, mungkin mereka menganggapmu aneh atau bahkan gila?

Sekarang kepercayaanmu lagi-lagi dihancurkan, diluluhlantahkan oleh manusia berjenis laki-laki. Kau terus berpesan pada dirimu sendiri, kau mulai menjauhi laki-laki. Kau akan menutup hati rapat-rapat berikutnya. Kau meyakini itu, kau membulatkan tekad untuk itu.

Sekarang, cukup hidup bersama semua kerabatmu, kau jalin lagi hubungan dengan mereka, membangun kembali komunikasi yang semulanya hancur menjadi suar dalam ruang kolaborasi perasaan. Tidak ada lagi cinta. Tidak ada lagi lelaki. Semua sudah cukup. Sampai tiba saatnya seseorang yang benar-benar menjadi penawar atas luka-lukamu, menjadi obat atas segala dukamu, menjadi tiang untukmu bersandar, menyediakan bahu dan dada untukmu menangis dan bercerita, memberikan cinta ketika engkau bercerita, dan paling penting dari semuanya adalah seseorang yang akan membawamu ke dunia baru, menciptakan cinta yang berlandaskan perasaan kepada illahi, dan menjadikanmu wanita yang kuat serta surga menjadi tujuanmu berdua.

Maaf jarang update yha><
Sekali update malah malam-malam

Btw, selamat merayakan kepergian, kehilangan dan kepercayaan yang hancur lagi!

MOZAICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang