22

3.2K 56 3
                                    

Kelopak matanya mulai terbuka, matanya yang sudah menutup selama seminggu itu membiasakan diri dengan cahaya yang masuk. Kepalanya miring ke kaan. Ia melihat orang yang tak ia kenali tengah tertidur di sofa. Sementara saat ia melihat ke kiri. "Erika.."

Eve yang baru saja kembali dari luar terkejut melihat kakaknya telah terbangun. Barang yang ia bawa jatuh begitu saja. Tubuhnya tiba tiba berlari memeluk Ariel yang melirihkan nama adiknya. "Ip" Eve memeluk erat tubuh Ariel, begitu erat. Air matanya pun menetes. "Aku kira... Ci Eril bakal ninggalin aku hikks" Ariel mengelus rambut belakang Eve sambil tersenyum, ia sebenarnya tak mengerti kenapa ia disini. Yang ia ingat terakhir dia dan Erika tengah bercumbu di pesawat hingga tiba tiba pandangannya gelap tak mengingat apapun.

Elaine masuk ke dalam kamar karena mendengar suara tangisan. Ia tersenyum melihat salah satu pasiennya sudah terbangun dari tidur panjangnya. Ia meraih beberapa perlengkapan lalu mendekat kearah Ariel. "Ipi, Ci Ilen mau ngecek kakakmu dulu" Eve pun melepaskan pelukannya sambil mengusap air mata yang keluar dari kedua sudut matanya itu. Ia berlari kecil meraih makanan yang ia bawa tadi dan kemudian duduk di kursi dekat kasur Ariel.

"Aku di Indonesia?"

Elaine menggeleng. "Kamu masih di Jepang"

"A-aku kenapa?"

"Kecelakaan pesawat. Hanya 3 orang yang selamat dari semua penumpang di pesawat itu. Dan kalian semua sebenarnya saling terhubung satu sama lain"

"Lalu?"

"Kalian bertiga koma dan hari ini adalah hari kedelapan kalian koma. Tapi kamu berhasil bangkit lebih cepet dari yang lain"

Ariel mengangguk mengerti, ia berusaha bangkit untuk duduk tapi badannya terlalu lemah. Elaine yang mengerti mulai menaikkan bibir kasur itu membuat Ariel seperti duduk bersandar. "Ip, kakakmu kasih minum dulu ya. Aku mau laporan dulu. Jagain yang lain juga ya. Atau bangunin tuh Ka Michelle yang tidur"

"Iya ka" Elaine pun meraih jas dokternya dan mulai melangkah keluar ruangan. Eve kembali melihat kearah kakaknya yang masih sedikit melamun. "Kenapa Ci?"

"Amel tau?"

"Ka Amel udah tau"

"Dia gimana?"

"Mau telpon?" Eve menyerahkan ponselnya. Ariel menatap nanar ponsel itu. Tertera nama ka Amel disana. Tangannya dengan ragu menekan tombol panggilan. Suara panggilan tersambung pun terdengar dari ponselnya hingga akhirnya terdengar suara Amel. "Iya ada apa Ip?"

"Ipi?"

"Halo?"

"Ini kepencet ya?"

Ariel masih diam. Benar benar diam, ia hanya rindu suara kekasihnya itu. "Mel aku kangen"

"E-Eril?!?! Sayang? Kamu?"

"Halo.."

*****

Shani baru saja kembali dari kuliahnya. Ia membuka pintu unitnya. Ia melihat 2 gelas serta beberapa cemilan cemilan ringan yang tergeletak di ruang tamu. Ia mendesah lemah. "Gracia" Panggilnya namun tak ada jawaban apapun.

Ia pun menyerah. Mungkin Gracia dan Andela tengah tertidur atau mungkin pergi ke minimarket di dekat sini. Shani meraih gelas itu lalu mulai membersihkan beberapa sampah yang mengotori ruangan ini.

Hanya 10 menit bagi Shani untuk mengubah ruang tamu ini menjadi nyaman kembali untuk dikenakan. Shani pun berjalan ke kamar dirinya dan Gracia. Ia meletakkan tasnya di atas meja belajar kemudian membuka kemeja yang ia kenakan. Ia menggantungkan kemejanya kemudian membuka almari mencari pakaian yang akan ia kenakan malam ini.

Setelah menemukan pakaian itu ia meletakkannya di kasur. Shani berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya. Shani mulai membuka satu persatu pakaian yang ia kenakan. Saat ia mulai melepas celana dalamnya. Pintu kamar mandi terbuka. Nampak gadis tinggi dengan rambut yang terkuncir tengah tersenyum kearahnya serta badan polos yang sedikit berkeringat.

Shani menggeleng lemah. Ia sedang malas meladeni Andela yang kini telah mendekat ke arahnya. "Oh ayolah" Andela meraih pinggang Shani, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Shani. "Gracia udah aku bikin lemes tadi. Sekarang waktunya aku yang bikin kamu lemes" Andela menarik dagu Shani. Ia menatap bibir Shani begitu lekat kemudian mulai melumat bibir Shani. Shani berusaha menutup mulutnya menolak ajakan Andela. Tangan Shani mendorong tubuh Andela tapi usahanya sia sia, Andela sudah berhasil menekan tubuh Shani ke tembok. "Biar bisa tidur nyenyak" Ucap Andela sambil menggesekkan jarinya ke bibir vagina Shani.

"Mmpphhh aahhhh Ndell"

*****

ANIN POV

Aku berjalan keluar dari minimarket di dekat rumah sakit tempat Boby dirawat. Tangan kiriku membawa plastik berisikan beberapa cemilan untuk dimakan di kamar inap, sementara itu tangan kananku digenggam erat oleh Michelle yang sibuk bermain ponsel sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Semenjak tau bahwa Eril sudah sadar dari komanya. Secercah harapan akan sadarnya Boby pun semakin terang.

Di sisi lain, aku harus merelakan orang disampingku untuk bersama Boby tapi aku tidak ingin menjadi orang jahat. Orang yang mementingkan kebahagiaannya sendiri. Aku masih berharap Boby dapat kembali sadar dari komanya. "Sayang"

"Aninndithaa" Panggilan Michelle barusan sukses menyadarkanku dari lamunanku. "Eh iya kenapa?"

"Ngelamun mulu"

Aku hanya menghela napas pelan. "Maaf" Michelle menangkup kedua pipiku. Ia menatap kedua mataku lekat. "Aku tau apa yang kamu pikirin. Kamu ga boleh jadi orang yang jahat. Kamu sayang aku kan?" Aku hanya mengangguk. Ia kemudian menciumku secara kilat kemudian tersenyum. "Yuk kita berharap Boby mau nikah sama kita" Ucapnya sambil tertawa cukup keras.

"Dasar"

Michelle menarik tanganku. "Yuk udah gerimis"

"Hujan hujan yuk"

"Di kamar mandi aja. Mau?" Ucapnya sambil mengigit jarinya menggodaku. "Mau kamar mandi kantin apa di tempat nginep?"

"Berani emang?"

"Berani aja" Dia mencubit perutku membuatku cukup meringis. "Nakal ya mentang mentang udah pernah semua"

"Eh engga Nanda, Ipi sama Eril belom"

Michelle menendang kakiku kemudian berjalan cepat meninggalkanku. "Dih ngambek"

Tbc

Trip 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang