15 Desember 2018
Tadi pagi, Carlisle ngirim pesan. Dan anehnya, percakapan itu masih lanjut sampai sekarang. Siang ini aku males masak, tapi males delivery juga.
Sampai akhirnya, Carlisle telepon.
"Hai," sapaku. "Bosen ya?"
"Iya, bosen hidup," jawab Carlisle. "Lagi di rumah?"
"Hush!" desis Ursa. "Iya, bosen banget."
"Rumah kita deketan," ucap Carlisle. "Aku pernah liat kamu turun bareng siap itu? Kak Hera atau Kak Helen?"
"Wow, Carlisle!" seruku kagum.
"Kenapa?"
"Itu kata-kata paling panjang yang pernah aku denger dari kamu," ucapku dan langsung tiduran seneng di sofa.
"Nggak penting," jawabnya dan tertawa.
Keadaan menjadi hening kembali.
Aku menghela napas. "Kenapa kamu mau bunuh diri?"
Carlisle kembali tertawa seakan itu pertanyaan biasa. "Banyak alasan. Intinya aku ini nggak berguna."
"No offense, Carlisle Hershey," ucapku. "Dunia gak berubah kalau kamu pergi."
"But the nice part is, no one would miss me. No one would cry over me. Aku bersyukur aku gapunya temen."
"Aku temenmu."
"Ya, kamu beda lagi," jawab Carlisle. "Kamu nggak mungkin sedih. Kan, temenmu banyak."
"That's not true, Carlisle," ujarku lirih. "Aku dukung apapun keputusanmu, kalo itu buat kamu lega. Tapi tolong, ya. Dengerin hatimu, karena hati seseorang itu nggak pernah kotor. Jauh-jauh dari hasrat sama keinginan fanamu."
Wah, aku keren juga.
"Eum, okay. That's quite inspiring," jawab Carlisle. "But seriously, Ursa Theresia. Ini yang hati, pikiran, dan keinginanku mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
chance // hrj ✔️
Короткий рассказ' "I'm sorry. For not taking the last chance." cover: nicola samori, 1977