PART 1

11 2 0
                                    

Dengan tergesa Rindi menyusuri koridor di kampusnya. Langkahnya cepat, dengan pandangan mata yang lurus ke depan. Belum sampai di ruang kelas yang ditujunya, sebuah suara yang memanggil namanya menghentikan langkah Rindi.

"Rin"

Rindi berhenti, dan menoleh. Doyoung mendekatinya dengan langkah panjang. Acha mengiringi Doyoung agak di belakangnya.

"Eh..." kata Rindi, menyambut kedatangan Doyoung. Doyoung berhenti dua langkah di depan Rindi.

"Tugas makalahnya Pak Duta bawa kan? Kan hari ini dikumpulnya."

Rindi tersenyum lemah. Doyoung dan Rindi memang tergabung dalam satu kelompok untuk mengerjakan tugas makalah itu, bersama-sama Acha juga. Tapi Rindi sebetulnya merasa enggan untuk bertemu dengan Doyoung sebelum menyerahkan makalah itu.

"Bawa kok..." sahut Rindi, mempererat genggamannya pada tali tote bag yang tersampir di bahunya.

"Mana?" tanya Doyoung lagi sambil mengangsurkan tangannya ke arah Rindi.

Rindi mendesah kecil, harapannya agar Doyoung tidak menyinggung-nyinggung tugas itu sebelum dikumpulkan tidak terkabul. Tapi Rindi toh tahu bahwa harapannya itu akan sia-sia. Doyoung tipe orang yang perfeksionis, yang selalu memastikan bahwa tugas yang akan dikumpulkan telah diselesaikan sebaik mungkin.

Rindi merogoh-rogoh tasnya, dan sesaat kemudian menyodorkan sebuah makalah yang telah dijilid rapi ke arah Doyoung. Rindi tidak berani menatap Doyoung langsung, dia hanya menunduk, tapi sempat sedikit melirik ke arah Acha yang berdiri di sebelah Doyoung. Ada ekspresi kasihan yang nampak di wajah lembut Acha yang juga tengah memandangi Doyoung.

Doyoung menerima makalah itu, dan menimangnya. Dengan cepat Doyoung membaca judul makalah tersebut, memastikan tidak ada kesalahan ejaan yang memalukan. Setelah selesai, tatapan matanya langsung tertumbuk pada keempat nama yang dituliskan di sampul makalah itu. Begitu melihat nama pada baris terakhir, Doyoung mendecak kesal.

"Ini yang mau kamu kumpulkan ke Pak Duta?" kata Doyoung tajam, mengacungkan makalah di tangan kanannya.

"Ya iya lah. yang mana lagi?" sahut Rindi, sedikit gemetar. Tapi Rindi berusaha menguatkan diri. Demi nama keempat itu.

"Ngapain nama Dyo masih dimasukkan di sini?" suara Doyoung masih terdengar tajam.

"Kan dia juga anggota kelompok kita..." jawab Rindi, berusaha memberikan alasan atas tercantumnya nama Dyo di sampul makalah itu.

"Oh, iya ya? Aku sampai lupa. Kita udah berapa kali ya ngerjain tugas kita ini bareng-bareng? Empat kali kan? Aku gak pernah ketemu tuh sama Dyo" dengan sinis Doyoung melipat kedua tangannya di depan dadanya, menatap tajam ke arah Rindi.

"Dia... Emm... kebetulan aja kok pas kita janjian itu Dyo pas gak bisa dateng..." Rindi masih berusaha membela Dyo. Seperti yang selalu dia lakukan selama ini. "Lagian dia sebenarnya ikut ngerjain kok..." tambah Rindi dengan cepat.

"Bagian yang mana?" Doyoung masih mengejar dengan pertanyaan. Nada suaranya masih datar, tapi terdengar semakin intimidatif di telinga Rindi.

"Yang bagian Kesimpulan, sama bagian batasan masalah..." sahut Shilla cepat. Dia tidak sepenuhnya berbohong kok. Toh dia mengetik bagian itu sambil menelepon Dyo. Yah, walaupun yang mereka obrolkan di telepon saat itu bukan tentang makalah itu, paling tidak Rindi jadi lebih bersemangat mengetik bagian itu. Dan itu artinya Dyo ikut membantu pengerjaan tugas itu kan? Meskipun secara tidak langsung, toh itu tetap salah satu bentuk bantuan kan?

"Oh. Jadi pengen tahu. Dyo tahu gak judul makalah kita apa?"

"Doy... sudahlah..." suara lembut Acha berusaha menengahi. Dengan lembut dia meraih lengan Doyoung dan tersenyum, berusaha menenangkan kekasihnya itu. Rindi beralih memandang Acha dengan tatapan penuh rasa terima kasih.

Doyoung mendesah kesal. "Terserah deh. Gua gak mau ngurus lagi. Yang penting bagian gua udah gua kerjain." kata Doyoung, nada suaranya masih terdengar menyimpan ketidaksukaannya. Dia lalu membetulkan letak ransel di bahunya. Doyoung mendecak kesal sekali lagi.

"Heran gua. Kalo kelakuannya kayak gini terus, gua ga ngerti. Sebenernya Dyo kuliah mau nyari apa sih? Nyari status doang? Ngapain bayar kuliah mahal-mahal kalo cuma nitip absen doang?"

"Doy..." Acha kembali berusaha menegur dengan lembut. Sementara di hadapan mereka, Rindi memilih untuk tidak menanggapi kata-kata Doyoung tadi. Dia hanya diam dan menunduk.

"Bodo amat lah" , nada tidak suka jelas terdengar dalam kata-kata Doyoung.

"Makalahnya gua yang bawa deh, biar nanti di kelas gua aja yang ngumpulin..." kata Doyoung lagi. Tanpa menunggu jawaban Rindi, dia kembali melangkah menuju ruangan kuliah mereka.

Acha tidak langsung mengikuti Doyoung. Dia hanya menghembuskan nafas panjang sambil memandangi punggung Doyoung yang bergerak menjauhi mereka.

"Rin, sorry ya si Doyoung tadi"

Rindi mengangkat wajah, mendapati Acha menatapnya. Ada sedikit rasa iba nampak di ekspresi wajah Acha. Rindi tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.

"Gak papa..." sahut Rindi. Dia bisa mengerti reaksi Doyoung tadi. Apalagi Doyoung selama ini memang dikenal sebagai mahasiswa yang cukup idealis di jurusan mereka. Beasiswa yang cukup bergengsi dari salah satu perusahaan terkenal yang diperolehnya merupakan salah satu bukti keseriusan Doyoung dalam studinya. Kalau dibandingkan dengan Dyo, memang ada jurang perbedaan yang besar antara mereka berdua. Rindi sendiri sadar, seandainya dia tidak bersahabat dengan Acha, mungkin Doyoung tidak akan mau menerima Rindi, apalagi Dyo, sebagai anggota kelompoknya.

"Cha!" tiba-tiba suara Doyoung terdengar kembali. Beberapa puluh meter di depan mereka, Doyoung nampak berdiri dengan raut wajah tidak sabar.

Acha menepuk pelan pundak Rindi.

"Aku duluan Rin"

Rindi kembali mengangguk pelan. Acha tersenyum kecil, lalu setengah berlari menghampiri Doyoung. Begitu sampai di sisi Doyoung, Acha nampak meraih jemari Doyoung untuk menggandengnya. Bahkan dari jauh, Rindi bisa melihat Doyoung tersenyum begitu Acha menggandengnya. Dengan sedikit miris, Rindi memandangi pasangan itu berjalan bergandengan menuju ruang kuliah. Tanpa bisa dicegahnya sebersit rasa iri menyelinap di benak Rindi melihat betapa Doyoung dan Acha terlihat begitu dekat dan serasi satu sama lain.

Ah, seandainya saja...

Rindi menggelengkan kepalanya, mencoba membuang jauh-jauh pikiran itu di benaknya. Dia menghembuskan nafas keras-keras. Berusaha menerima kenyataan bahwa untuk saat ini, hanya yang seperti inilah yang bisa dijalaninya bersama Dyo. Sambil melangkah ke arah ruang kuliahnya, Rindi kembali menanamkan suatu keyakinan dalam dirinya. Dia hanya harus menunggu. Itu saja. Dia hanya harus menunggu.

tbc




Note :

aku memberanikan diri buat nulis padahal gak pede banget huhuhu

kritik dan saran ditunggu yaa. enjoy

Loving You SecretlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang